"Yaudahlah. Nanti ada saatnya gue jelasin ke Raisa. Gue butuh waktu untuk jauhin dia dulu. Oliv butuh banyak support untuk saat ini, Rak."

Raka mengangguk. Menyetujui perkataanku. Aku pergi ke ruangan Olivia. Ibu Oliv berada di luar. Aku sedikit berlari menghampirinya. "Oliv, kenapa bu?" Aku terlihat begitu khawatir kali ini.

"Sudah sadar, nak. Doakan saja yang terbaik." Katanya memegang lenganku. Dalam diam aku berdoa semoga ia benar-benar sadar dan pulih.

Lima belas menit berlalu. Dokter sudah keluar dari dalam ruangan Oliv. Aku masuk bersama Ibu Oliv. Ia tersenyum getir padaku.

Aku duduk menghadapinya. "Jangan macem-macem lagi yahh" ku usap rambutnya yang masih terasa halus setelah sekian lama tak ku sentuh.

**

Sebulan tlah berlalu. Raisa mengirimkan begitu banyak pesan untukku. Aku sudah membalasnya. Sebelumnya aku takut jika Raisa marah padaku karena telah menghindar darinya.

Raisa Tamara:
Aku udh di Gereja ada acara. Kak Sena lg dmna?

Sena Andrea:
Di rumah temen, ngumpul. Dah makan?

Raisa Tamara:
Udah kok, kak Sena jgn lupa makan jg yah

Chat terakhir bersama dengan Raisa. Hanya itu. Aku belum mengabarinya lagi. Waktuku sudah habis bersama dengan Oliv. Menemani masa-masa pulihnya. Ia terlihat bahagia aku bersamanya. Menemaninya makan malam, membacakan cerita sebelum dia tidur di pundakku, atau bahkan menemaninya menghirup udara segar di taman rumahnya.

Rumahnya cukup luas tetapi terasa begitu sepi. Terlebih Oliv yang merasakannya hampir setiap hari. Tak ada adik dan kakak, rasanya hidupnya hanya ada dia seorang diri.

Aku tidak tahu ini namanya apa. Tahun-tahun kemarin, aku yang merasakan hal seperti itu karena merasa sakit hati ditinggalkan dia bersama dengan orang lain. Sekarang, Oliv yang merasakan seperti aku. Meskipun aku tetap menemaninya.

"Ndre, aku kangen deh." Dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Bergelayut manja di lenganku. "Kangen kita" kami sedang berada di taman lama. Taman buatanku. Tempat kami selalu menuangkan kasih sayang kami. Saksi bisu aku jatuh cinta dan patah hati.

Aku hanya terkekeh dan tak berniat membicarakannya lebih panjang. "Apa bener-bener udah gak ada ruang untuk aku, ndre?" Aku menggengan jemarinya.

"Aku hanya gak mau kita seperti dulu lagi, Liv. Biarkanlah aku bahagia dengan caraku sendiri. Kamu udah jauh lebih bahagia tanpaku." Dia menggelengkan kepalanya. "Kamu kebahagiaan aku, ndre." Aku tak menjawabnya hanya memeluknya. Aku tahu rasanya seperti dia.

Ponselku bergetar. Satu pesan masuk.

Raisa Tamara:
Kak Sena dimana sih?

Sena Andrea:
Di rumah, knp?

Aku berbohong lagi padanya. Sudah yang kesekian kalinya. Sudah hampir sebulan aku tidak lagi mengajak Raisa pulang bareng dan selalu pulang lebih cepat untuk bertemu dengan Oliv. Entahlah aku tak mengerti dengan perasaanku.

"Kamu gak pulang?" Baru saja Oliv berbicara seperti itu, Raisa menelfonku. "Sebentar" Aku menjauh dari Oliv.

"Kak Sena dimana?" Nada bicaranya sudah berubah.

Sejak aku dan Raisa saling terbuka, dia menjadi overprotective padaku "Di rumah, sayang" ku harap aku tidak ketahuan berbohong.

"Dimana?"

"Di rumah"

"Aku lagi duduk di ruang tamu rumah kamu ditemenin Samuel."

Seketika aku terdiam. Tak tahu lagi mau berbicara apa. Dengan terpaksa aku mematikan sambungan telefonnya. "Putus-putus, nanti gue telfon lagi." Terpaksa aku harus kembali ke rumah dengan cepat.

Someone Like You [END]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ