22 : Masa lalu Rain.

22K 2.9K 296
                                    

Bersiaplah untuk pergi ke berbagai tempat dan waktu bersama Rain.

Rasakan bapernya!

****

Siska mengambil sebuah buku dari dalam lemari. Setelah duduk di depan meja belajarnya, Siska membuka halaman demi halaman buku tersebut berulang-ulang.

Jika dilihat lebih dekat, itu bukanlah sebuah buku yang berisikan tulisan atau angka-angka yang rumit. Terdapat begitu banyak foto didalamnya. Siska memperhatikan sebuah foto, ia mengeluarkan foto tersebut dari album yang ia pegang.

Siska membawa foto itu ke dekat jendela. Ia mengangkat foto itu agak tinggi membelakangi cahaya yang masuk ke kamarnya.

"Ayah.. Ibu.. andai kalian masih ada." Ucapnya lemah.

***


....

....

....

Tubuh Rain mendadak lemas, setiap menyadari kenyataan bahwa Ayahnya telah meninggal dunia.

...

...

Siska duduk bersandar di pundak tante Mirna. Sejak tadi, ia terus saja menangis. Tak ada yang bisa menghetikan tangisan gadis muda itu.

Tante Mirna tak henti-hentinya menyemangati Siska.
"Sudah Siska, bersabarlah.. bersabarlah. Ayahmu sudah tenang disana." Ucap tante Mirna.

Sedangkan Rain?

Kini ia hanya bisa duduk terdiam di samping tubuh ayahnya yang sudah terbaring kaku sambil mendengarkan lantunan doa-doa yang dibacakan para pelayat. Entah apa yang dipikirkan Rain sekarang, tak ada satupun yang bisa membacanya.

"Rain," paman Dimas mulai mendekati Rain, "bersabarlah Rain. Ini ujian buatmu dan Siska. Kalian harus kuat menghadapinya." Ucap Paman.

Rain melirik ke arah paman Dimas. Ia mengangguk sambil tersenyum. Mata Rain mulai berkaca-kaca.

Tak lama, terdengar bahwa jenazah ayah Rain akan segera di angkat untuk dikebumikan di tempat pemakaman umum desa.

Rain yang tak mau berbicara sepatah katapun mulai beranjak semakin maju mendekati tubuh Ayahnya. Ia ingat, bahwa dulu disaat kepergian Ibunya, Rain tak menangis sama sekali. Namun sekarang, Rain sudah tak bisa membendung air matanya lagi. Air mata yang telah ia simpan selama bertahun-tahun kini tumpah.

"Ayaaah!!!!" Teriaknya kencang. Suara tangisnya mulai memenuhi rumah membuat kaget keluarga, dan para pelayat yang hadir disana.

Teman-teman dan pamannya mendekat, mencoba menenangkan Rain. Namun, Rain berusaha melepaskan diri. Ia tak ingin jenazah ayahnya dibawa pergi. Rain sudah tak bisa mengontrol dirinya sendiri


....

....

....

Baru pagi tadi Rain membuatkan segelas teh panas untuk ayahnya. Sebelum berangkat sekolah, Rain menemani ayahnya duduk bersama di teras rumah. Saat itu, kondisi ayah memang kurang baik selama beberapa hari ini.

Ayah menuang tehnya ke atas piring kecil. Ia meniupnya perlahan, sesekali matanya melirik memperhatikan Rain yang sedang mengikat tali sepatunya.

Rain & DavinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang