Ganda berdiri diam di antara Tommy dan Nadya. Dia tidak pernah suka cari ribut. Buang-buang waktu, tidak penting, dan hanya memperkeruh suasana. Makanya dia memilih diam dan menurut saja pada ucapan kakak-kakak kelasnya itu. Tapi, kalau sampai mengganggu temannya, jelas dia tidak bisa hanya diam. Apalagi melihat tubuh mungil Nadya makin mengkerut ketakutan.

"Berani lo sama gue?" tantang Tommy.

Nadya mencengkram bagian belakang kemeja Ganda. Satu tangannya yang lain mengeluarkan ponsel, coba mengirim pesan pada sopirnya supaya menjemput mereka di sini.

"Udahlah, Tom. Doyan banget ganggu bocah."

Nadya menoleh, melihat kakak kelas yang tadi dihampiri si genit di kolam, bergabung dengan mereka. Namanya Yoga, kalau dia tidak salah ingat.

Yoga menepuk pelan bahu Ganda, lalu menarik Tommy menjauh. Tommy masih melemparkan pandangan menantangnya pada Ganda, namun tetap mengikuti Yoga kembali ke gerombolan mereka.

Tepat saat itu, mobil jemputan Nadya muncul. Tanpa membuang waktu, gadis itu melompat naik, sementara sopirnya membantu Ganda memasukkan sepedanya ke bagasi. Kemudian mereka pergi dari sana.

"Serem banget sih di sana?" gumam Nadya, sambil menoleh ke belakang. "Lo nggak bisa parkir sepeda di tempat lain apa?"

"Tempat lain penuh sama motor dan mobil. Cuma di sana bisa buat sepeda."

"Serem tahu! Gimana kalau mereka ngeroyok lo?"

"Biasanya mereka cuma nyuruh beliin rokok. Gara-gara kamu, aku hampir diajak berantem."

Nadya mendengus, seraya melepas jas seragamnya. "Bukan salah gue cantik," balasnya.

Ganda memilih mengabaikannya.

"Makasih, anyway, udah jadi ksatria bersepeda gunung gue."

Ganda menghela napas. Untunglah setelah itu dia harus menunjukkan arah rumahmpada sopir Nadya, jadi gadis itu tidak lagi menganggunya.

"Yang pagar cokelat, Pak..." ucap Ganda.

Mobil pun berhenti di rumah berpagar cokelat yang dimaksud Ganda.

"Pak Sigit pulang aja dulu. Nanti aku telepon kalau udah selesai," ujar Nadya.

"Baik, Non."

Nadya membuka pintu di sampingnya, menyusul Ganda yang sudah turun lebih dulu. Ganda membuka pagar, mempersilakan Nadya melangkah duluan, dan dia mengikuti di belakang.

"Lagi rame kayaknya," gumam Nadya.

Ganda tidak membantah. Dia melihat Nissan March merah milik Tatiana, sepupunya, terparkir di depan Terrios hitam, yang dikenali Ganda sebagai mobil keluarga kakak perempuan papanya, orangtua Tatiana.

Ganda menahan lengan Nadya, saat gadis itu akan melangkah menginjak teras tanpa melepas sepatunya. Nadya mengucap maaf, lalu melepas sepatu dan mengikuti Ganda masuk.

"Assalamu'alaikum," ucap Ganda.

"Wayakumsayam!" sahut suara anak perempuan.

"Wa'alaikumsalam," ralat suara lain.

"Tunggu di sini bentar," pinta Ganda.

Nadya mengangguk, memilih duduk di sofa ruang tamu, sementara Ganda bergabung dengan orang-orang yang ada di ruang tengah.

Ganda menyalami satu per satu orang dewasa yang ada di sana. Kenang dan suaminya, juga ada neneknya, ibu dari Gio. Mereka semua melempar senyum tipis padanya.

"Kamu ditanyain Rey, kapan mau lomba renang lagi," ujar Kenang.

"Dia nggak ikut?" tanya Ganda, basa-basi. Reyhan juga sepupunya, adik dari Tatiana, yang berusia sebaya dengannya.

No Place Like HomeWhere stories live. Discover now