No Place Like Home

Adaptasi

Jika ada satu hal yang paling dibenci Nadya dari tinggi badannya adalah selalu ditarik supaya berdiri paling depan setiap kali baris. Kadang dia berhasil menyusup ke belakang. Tapi tidak jarang ditarik lagi ke depan, membuatnya harus menjadi anak baik selama upacara.

Untungnya, hari ini dia bisa menyelip masuk di tengah barisan. Upacara tiap hari Senin benar-benar cobaan bagi setiap siswa dengan jiwa pariotisme minim seperti dirinya.

Selesai upacara, para siswa lama dibubarkan terlebih dahulu, sementara siswa baru masih tetap di lapangan untuk mendapat pengarahan singkat. Pembagian kelas dan Mata Pelajaran dicek melalui website resmi sekolah, yang bisa dilihat sendiri oleh semua siswa dengan memasukan Nomor Induk Siswa dan password.

Nadya mendapat kelas X.B. Tapi dia tidak tahu siapa saja teman sekelasnya, karena sekarang mereka masih berbaris sesuai dengan kelompok saat masa pengenalan minggu lalu. Dia berharap satu kelas dengan Ganda. Meskipun menyebalkan, dia tahu cowok itu anak baik. Sekarang ini, mencari teman baik lebih susah daripada mencari pacar. Syukur-syukur kalau teman baik itu bisa dirangkap sebagai pacar sekalian.

"Untuk para siswa baru yang masuk di kelas X.A, baris di sebelah sini." Wakil Kepala Sekolah bagian Akademik menunjuk sebelah kanan lapangan. "Kelas X.B disebelahnya, diikuti kelas X.C dan X.D."

Atlantis Smart School tidak pernah menerima lebih dari seratus siswa tiap tahun. Setiap siswa itu nanti akan dibagi dalam empat kelas, yang masing-masing berisi maksimal 25 anak.

Nadya berjalan ke barisan kedua dari kanan. Matanya sontak berbinar saat melihat Ganda juga berada di barisan itu.

"Kita emang jodoh kayaknya," ujarnya, sambil menyenggol lengan Ganda, seraya berjalan ke barisan depan bersama siswi yang lain.

Setelah semua siswa berbaris rapi, mereka diarahan menuju ruang kelas masing-masing.

Ada empat gerbang di sekolah ini. Satu gerbang utama, berada di bagian depan, dua di samping kiri dan kanan gerbang, satu lagi ada gerbang tambahan di bagian belakang. Jumlah bangunannya sendiri ada lima. Dua gedung utama, satu untuk SMA, satunya gedung SMP, terdiri atas lima lantai. Lantai 1 merupakan resepsionis, lobi, ruang TU, UKS, dan ruang sekretariat ekstrakurikuler, Lantai 2 ruang guru dan Kepala Sekolah, Lantai 3 ruang kelas untuk kelas XII, Lantai 4 kelas XI, dan Lantai 5 untuk kelas X. Bagian rooftop-nya didesain menjadi taman yang dikelola oleh klub berkebun. Tiga bangunan lain adalah GOR, perpustakaan, dan musolah.

Semua bangunan itu berada di bagian depan, dibangun mengitari lapangan upacara. Sementara di bagian belakang diisi fasilitas lain untuk para siswa. Kantin, kolam renang indoor, juga taman dengan pohon-pohon rindang dan bangku kayu. Khusus tempat parkir berada di luar bangunan sekolah, di lahan terbuka yang mengelilingi wilayah sekolah, juga milik yayasan itu, terbagi menjadi tempat parkir guru dan murid.

"Kenapa yang kelas X malah di Lantai paling atas ya?" tanya Nadya, saat mereka menunggu lift. Ada dua lift yang beroperasi di sana untuk siswa, bisa menampung hingga dua puluh orang, dan satu lift khusus staf, bisa menampung lima belas orang.

"Biar yang kelas XII nggak kepikiran bunuh diri kalau stres ngadepin ujian akhir. Mereka lompat dari Lantai 3, paling keseleo doang."

Nadya mendelik pada Ganda. "Ih, nanya serius juga."

Ganda mengerdikan bahu, bertepatan dengan pintu lift terbuka. Mereka melangkah masuk. Kemudian lift bergerak menuju Lantai 5.

Kelas X.B berada di pintu kedua dari lift. Berbeda dengan saat orientasi yang memakai meja-kursi untuk dua orang, kali ini meja-kursinya hanya untuk satu orang. Mereka semua langsung berebut mencari posisi paling enak, paling jauh dari meja guru dan dekat dengan AC. Ganda memilih bangku paling depan, yang diabaikan teman sekelasnya, tepat di depan meja guru. Nadya tidak berhasil mengalahkan Melissa, gadis berperawakan bongsor, yang mengincar meja nomor tiga dekat jendela. Dia akhirnya mendapat bangku di belakang Ganda.