4. No-Offence Conference

584 39 10
                                    

Setelah secangkir teh dan sepiring makanan ringan, Rhiannon memilih untuk kembali ke pekerjaannya yang masih menumpuk. Ia memakai kembali jas putihnya dan menaiki lift, menuju lantai delapan.

Hari ini ada rapat penting di ruang pertemuan, seingatnya, yang akan membahas soal si kembar Zoe dan Bion dan ulang tahun ke-18 mereka. Sesuai kesepakatan, kedua anak itu akan diberitahu soal sanak-kerabat mereka yang tersisa, jati diri orang tua mereka, dan kenyataan bahwa mereka kembar. Tidak akan semudah kedengarannya. Zoe dan Bion pasti akan bertanya macam-macam—dan itulah permasalahannya.

Sambil mendesah, Rhiannon menekan tombol 8 pada dinding lift. Benaknya melayang pada Athanasius. Seharusnya pria itu ada di sini bersamanya, tetapi dia malah menemui “anak asuh”-nya, Bion. Dia pasti sedang membicarakan masalah pelik itu pada sang anak. Athan, Athan. Sudah kubilang, bicarakannya besok-besok saja!

Pintu lift terbuka, dan dua orang satpam android dengan sigap menyambutnya. Rhiannon menepis mereka. Terburu-buru membuatnya melupakan sopan santun yang seharusnya diterapkannya. Wanita itu buru-buru melanjutkan perjalanan, mencari pintu besi ganda berplat “Conference Room/αίθουσα συνεδριάσεων” sementara sebelah tangannya mengaktifkan sinar LED pada jam tangan multifungsinya. Ia mengotak-atik tombol-tombolnya sampai sinar itu memproyeksikan fotokopi barcode nama dan sidik jarinya.

Aktivitas kecil yang memusingkan. Tentu saja, terutama karena Rhiannon telah telat 5 menit.

.

.

Kursi-kursi anggota rapat telah penuh saat Rhiannon tiba di sana. Dua kursi yang tersisa—plat nama hologram bertuliskan “Br5-21” dan “X-6” melayang-layang di atas keduanya—terletak di baris depan, langsung berhadapan dengan lahan kosong tempat proyeksi tiga dimensi akan ditunjukkan. Rhiannon membungkuk sekilas, nyengir sebagai tanda minta maaf, dan cepat-cepat menghampiri kursinya. Setiap mata para peserta rapat terhunjam padanya. Baik manusia, cyborg, maupun robot berkecerdasan buatan.

Suasana hening selain deru napas manusia dan cyborg di ruangan itu membuat Rhiannon nyaris gila.

Dengan canggung, wanita itu menekan tombol power di bagian bawah pegangan kursinya. Kursi itu menyala samar—sinar lemah berwarna marun tua yang mengintip dari celah-celah lempengan plastiknya—kemudian muncul suara bip pelan dan disusul suara elektronik seorang wanita yang menandakan mode komputer telah dimulai. Sebuah proyeksi layar komputer muncul di depan matanya dalam radius 45 cm, 2.000 x 1.000 pixel, intensitas cahaya tinggi. Rhiannon mengerjap-ngerjap. Silau. Ia lupa membawa visornya.

Ruangan ini redup, dan memang sengaja begitu—agar tayangan proyeksi tiga dimensi bisa terlihat dengan jelas saat ditampilkan nanti. Tanpa proyeksi, satu-satunya sumber cahaya di sana adalah pendar lemah dari kursi-kursi anggota rapat dan gadget-gadget mereka. Tidak ada satupun orang yang bercakap-cakap.

Rhiannon mendesah. Dimatikannya mode komputer pada kursinya dan sinar temaram marun tua itu memadam. Tempat duduknya kembali gelap gulita. Kalau begini caranya, sungutnya dalam hati. Lebih baik aku ke Zoe saja tadi!

“Sudah lama, Ree?”

Wanita itu terkesiap.

Seseorang baru saja memanggilnya. Seperti suara laki-laki... siapa? Kegelapan di tempatnya terlalu pekat bahkan untuk melihat tangannya sendiri. Refleks, Rhiannon mengarahkan sinar lampu darurat dari jam tangannya ke udara di sekelilingnya, sampai sinar itu menimpa wajah seseorang.

Wajah seorang pria yang sedang menunduk menatapnya. Athanasius.

“Untung hanya kau, Athan,” dengus Rhiannon. Ia mengernyit mendengar gema suaranya sendiri. “Duduk sana. Mumpung Pak Gubernur belum dat—“

Twisted Wind [on hold]Where stories live. Discover now