"Mirip Andre, kan?" Saat Andreas menunggu jawaban sambil memandang ayahnya, ia menemukan gurat ganjil di wajah Prasetyo. "Ayah sakit?"

Prasetyo mengangkat dagu lalu beringsut. Lagaknya persis seperti Andreas kalau narsisnya kambuh. "Sudah malam. Kamu mau tidur di sini atau pulang?"

"Andre di sini saja. Sekalian nunggu Ibu, Andre bisa jagain Ayah."

"Nggak usah!" tukas Prasetyo. "Ibu pulang larut dan Ayah sehat-sehat saja. Pulang sana! Ayah masih kesal sama kamu."

Kalau kamu nggak tunjukin foto tadi, sudah aku telan kamu!

*
*
*

Laudya tak mampu berkata apa-apa ketika keesokan harinya Andreas muncul dengan setumpuk berkas. Mulai dari bukti bahwa bukan ia pelakunya, hingga hasil lab milik Amzar, semuanya lengkap.

Kecuali satu. Rekaman pengakuan Triana. Semalam Andreas merasa harus menemui Laudya secepatnya sehingga ia langsung pulang ketika ayahnya menyuruh. Lagi pula, masih ada hari berikutnya. Pengakuan sang ibu pasti bisa ia dapatkan secepatnya.

"Dya, aku bersumpah aku nggak bunuh Dion. Soal cincin dan alamat, aku benar-benar dapet dari Dion. Tanpa kekerasan atau intimidasi apa pun." Andreas bersuara manakala Laudya masih diam.

"Lalu sekarang apa?" celetuk Ayyash. Meskipun membenci si Tuan Sempurna, ia tak mengelak kecerdasan otaknya. "Kita laporin kakak lo ke polisi?"

Laudya menatap Andreas dengan tak enak. Ia penasaran dengan jawabannya.

"Kita harus ngelengkapin bukti-buktinya dulu," ujar Andreas. "Pengakuan Ibu. Itu yang kita butuhin." Ia merapikan berkasnya lalu menambahkan, "Dya, aku janji sama kamu. Siapa pun pembunuhnya, akan aku pastiin dia mendapat hukuman."

"Termasuk salah satu anggota Keluarga Adinegoro?" sindir Ayyash.

"Keadilan harus ditegakkan."

Andreas menatap lurus ke arah Laudya. Wanita ini tahu Andreas tak main-main. Tapi benarkah? Sekalipun keluarganya sendiri, Andreas akan ada di pihaknya? Ia akan menegakkan keadilan, lalu menjebloskan pelakunya ke penjara?

"Omong-omong, Dya," kata Andreas. "Boleh aku minta sesuatu? Anggap saja imbalan awal karena aku bawa berkas-berkas ini."

"Imbalan?"

Andreas mengangguk lalu tersenyum paten. "Aku mau ketemu Rasta."

*
*
*

Ini bukan pertama kalinya Andreas menemui Rasta. Tapi ia tetap merasa terharu. Oh, Nak! Akhirnya saat ini muncul juga. Kita bisa bertemu dengan Mama yang merestui.

Telunjuk Andreas bergetar ketika hendak menyentuh pipi yang tampak gembul itu. Demi Tuhan, rasanya sangat berbeda.

"Rasta bisa bangun." Laudya berbisik sebelum jari Andreas mendarat di pipi anaknya.

"Sebentar saja." Andreas memberi senyum jaminan. Namun, belum sempat aksinya berlanjut, bayi di dalam boks biru itu sudah membuka mata. "Selamat siang, jagoan Papa."

Tetapi Rasta malah menangis. Mulutnya menekuk-nekuk dan suaranya nyaring. Laudya pun lantas mengangkatnya, menimang-nimang, dan menyodorkan puting. Tetapi, disuguhi makanan pun, Rasta malah menolak. Popoknya kering ketika Laudya memeriks.

"Dia takut sama kamu," omel Laudya sambil menenangkan Rasta yang sesenggukan.

"Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Nanti malam aku sudah siap tempur."

Andreas mendekatkan diri lalu meraih anaknya. Pelan-pelan ... pelan-pelan ... ketika posisi Rasta sudah mantap ada di tangan, Andreas menahan tawa karena lagi-lagi Rasta menekuk mulut mungilnya.

"Dia harus bisa beradaptasi dengan ayahnya."

Andreas terus menimang-nimang. Hingga tak sampai satu menit, Rasta langsung membisu. Ia bahkan mulai memandang mata yang dijiplaknya cukup lama.

"Papa ganteng ya, Rasta?" ucap Andreas diikuti aksi cium pipi. "Rasta mirip Papa, loh. Sudah gede pasti ikutan cakep."

Rasta menyeringai. Senyumnya yang menggemaskan membuat Laudya mengusap-usap pipinya. Ia pun jadi tak tahan untuk menciumnya. Satu, dua, hingga lima kali, lama-lama keceriaan Rasta berubah jadi rengekan. Ia merasa terganggu.

Andreas menimang-nimang lagi, kali ini dengan kata-kata jail khas ayah pada anaknya. Lantas bayi ini kembali terkekeh.

Hari itu menjadi hari terbaik kedua bagi Andreas. Yang pertama tentu saja ketika ia menjadi suami sah Laudya. Sekarang Laudya tak melarangnya mendekati Rasta. Malah di sore hari Andreaslah yang memandikan Rasta. Meski pertama kali, Andreas tak melakukan kesalahan apa pun.

Duh, andai saja jumlah waktu dalam satu hari bukan 24 jam, pikir Andreas ketika tahu-tahu hari sudah malam.

"Rasta sayang, jagain Mama selama Papa pergi, ya."

Andreas membungkuk lalu mencium anaknya. Di kening, hidung, pipi, dagu, dan kedua tangan. Kemudian Andreas meluruskan punggung dan berkata, "Jaga diri kamu baik-baik ya, Dya."

Laudya hanya mengangguk.

"Rekaman itu akan aku dapetin secepatnya." Andreas berucap sambil menaruh telunjuk di mulut Rasta ketika anaknya menguap.

"Kapan kamu kembali?"

"Paling lambat besok malam," ungkap Andreas. "Oh, iya, selamat ulang tahun. Maaf telat dan maaf aku nggak bawa kado."

Demi Tuhan, Andreas inginnya pulang besok. Malam ini biarlah di sini dulu. Paling tidak untuk memberi Laudya hadiah.

"Tapi kamu tenang saja. Habis misinya selesai, aku akan langsung ke sini sekalian bawa kado buat kamu."

"Kado pertemanan."

Andreas tak suka mendengar kata pertemanan, tapi ia berusaha tersenyum.

"Masih bolehkah aku berharap kamu kembali?" tanyanya hati-hati. "Demi Rasta. Dia berhak mendapat kasih sayang orang tua kandungnya."

Laudya pura-pura tak mendengar. Ia menimang-nimang Rasta sambil mencandainya.

"Dya," Andreas memanggil.

"Kalau nggak pergi sekarang, bisa-bisa kamu kemalaman."

Andreas mengangguk padahal dalam hati merana. Tetapi ia paham Laudya butuh waktu. Dosanya begitu banyak, maka manusiawi jika Laudya masih enggan membuka hati. Tapi, tidak masalah, Andreas mencoba optimis. Paling tidak, sekarang wanita itu tak menunjukkan kebencian.

Lagi pula Andreas yakin——sangat yakin——jika perkara kematian Dion selesai, mendapatkan wanita itu tak akan sulit.

Tentu saja! Aku, kan, ganteng, kaya, cerdas, atletis, dan sempurna. Lebih-lebih sekarang tak pernah menghina orang. Apa lagi yang kurang?

Eits! Alam sadar Andreas mengingatkan. Tuhan menyempurnakan hidupku lewat Laudya.

"Ya sudah, aku pergi sekarang."

Lagi, Andreas mencium kening Rasta. Kali ini lebih dramatis sebab ia menikmatinya cukup lama, sambil menutup mata, dan sempat berbisik, "Jaga Mama, ya."

-bersambung

FilantropiWhere stories live. Discover now