1. Perempuan Tanpa Nama

Mulai dari awal
                                    

"Ok." Hanya satu kata dan Fatir berjalan membawa baki beserta kopi arabika ke meja perempuan itu. Dari aromanya Fatir bisa menerka-nerka bahwa ini kopi kintamani. Kalau sampai kopi ini tidak juga diminum oleh perempuan itu, boleh jadi dia hanya mau mempermainkan Kalosi Koffie. Atau ini alasan cewek itu buat dapet wifi gratisan ya? Pikir Fatir. Lelaki itu menggeleng pelan, melenyapkan asumsi tak berdasarnya.

Dari balik bar, Rajendra mengawasi Fatir yang sedang menghidangkan secangkir kopi ke meja perempuan itu. Tidak ada pergerakan signifikan dari perempuan itu. Dia hanya mengangguk sopan ketika Fatir meletakkan kopi di meja dan kembali memusatkan perhatiannya ke laptop yang entah sejak kapan dikeluarkan olehnya, seperti Rajendra peduli saja.

Kedua tangan Rajendra mengepal erat, tengkuknya terasa lembab. Kalau boleh jujur, Rajendra gugup sekali sekarang ini. Lidahnya terasa gatal ingin mengumpat. Pasalnya ini sudah dua jam dan perempuan itu masih sibuk dengan laptopnya tanpa menyentuh kopi itu, melirik pun sepertinya dia tidak sudi.

"Bro, mending lo duduk aja deh. Jangan berdiri di situ terus. Kasian juga itu cewek lo liatin terus-terusan." Fatir menepuk pundak Rajendra.

Masalahnya ada beberapa pelanggan yang malah diabaikan oleh Rajendra membuat Fatir harus mengambil alih dan meminta maaf. Ditambah wajah Rajendra yang memang good looking meski kulitnya sedikit kecoklatan, tetapi rahang tegas serta alis tebal cukup membuat kaum hawa betah berlama-lama memandangnya. Sejak tadi beberapa pelanggan-tentu saja para perempuan-mencoba mencuri perhatiannya dan berakhir dengan sia-sia. Rajendra lebih tertarik kepada perempuan berambut cokelat dengan kemeja biru muda di dekat jendela.

Rajendra menatap Fatir dengan tatapan tajam. "Gue belum selesai." Pandangannya kembali ke perempuan tadi, lebih tepatnya ke arah cangkir kopi yang masih belum tersentuh. Fatir bisa apa kalau Rajendra sedang kumat seperti ini? Lelaki itu hanya mengembuskan napas.

"Bang, itu Mas Jendra nggak cape ya berdiri hampir dua jam? Biasanya juga nunggu sambil duduk," bisik Rani. Lokasi meja kasir dan bar memang berdekatan hanya dipisahkan ruang untuk masuk ke dalam bar saja.

"Udahlah biarin aja, Ran. Nanti juga dia pegel sendiri."

"Masih belum diminum juga, Bang. Alamat bakal kena semprot Mas Jendra seharian."

Fatir hanya terkekeh pelan mendengar perkataan Rani. Sebenarnya itu hanya salah satu cara menyembunyikan rasa kesalnya.

"Bang, dia ke sini."

Tawa Fatir terhenti begitu saja ketika perempuan itu melangkah ke arah bar, lebih tepatnya ke kasir. Kepala Fatir sontak menoleh ke arah Rajendra yang menatap perempuan itu dengan kening berkerut dalam, serta kedua tangan yang mengepal erat. Mata Rajendra menyipit, sayangnya perempuan itu sama sekali tidak memerhatikan Rajendra yang wajahnya memerah menahan kesal. Siaga satu ujar Fatir dalam hati.

Dan benar saja setelah perempuan tadi keluar dari Kalosi Koffie, tanpa menunggu lama Rajendra berjalan dengan langkah lebar menuju ruangan di belakang. Ruang yang difungsikan sebagai tempat Rajendra dan Fatir beristirahat serta urusan penting lainnya. Pandangan Fatir beralih ke cangkir kopi yang terlihat dingin tanpa tersentuh sedikit pun. Untuk kedua kalinya Fatir mengembuskan napas lelah. Sepertinya hari ini Fatir akan bekerja ekstra.

***

"Lain kali lo kasih cewek itu kopi sachet aja. Gue yakin dia nggak bakal tahu bedanya."

"Dan menjatuhkan harga diri gue sebagai barista. Begitu maksud lo?" ucap Rajendra sinis.

Sejak kejadian siang tadi hingga malam, Rajendra memilih untuk mengurung dirinya di ruangan yang dia dan Fatir sebut sebagai kantor. Ruangan yang berisi satu meja dan dua kursi serta satu set sofa. Fatir mengambil tempat duduk tepat di hadapan Rajendra yang sedang membaringkan tubuh besarnya di sofa panjang.

"Bukan begitu, Dra. Harusnya lo nggak perlu seserius kaya lo buat kopi kintamani tadi. Lo bisa buat pakai mesin nggak perlu manual."

"Harga diri seorang barista dipertaruhkan dari kopi yang dibuatnya, Tir. Dia bahkan nggak mau menyentuh cangkir kopi itu." Rajendra mengubah posisinya, menyandarkan punggungnya di kepala sofa.

Alis Fatir bertaut, tampak sedang berpikir. "Itu poinnya. Gue rasa itu cewek nggak suka sama kopi."

"Terus kenapa dia datang ke Kalosi Koffie? Dilihat dari penampilannya, gue rasa dia nggak bodoh. Jelas-jelas kita cuma nyediain kopi kecuali kalau dia mau minum air putih. Gue kasih gratis."

Kepala Rajendra mulai terasa pusing. Sepertinya dia butuh espresso.

"Mungkin dia punya kenangan sama mantan pacarnya di sini," kata Fatir.

Rajendra menatap Fatir dengan pandangan apatis. Lelaki itu memiliki pemikiran yang absurd menurut Rajendra. Jalan pemikirannya sulit sekali ditebak dan kerap kali tidak masuk akal seperti sekarang ini.

"Seinget gue dia baru datang ke sini sepuluh kali, termasuk hari ini. Dan gue nggak pernah liat dia datang bawa gandengan."

"Lo kok bisa inget, Dra?"

"Ingetan gue kuat, gak kaya lo. Dan jelas gue ngitung. Karena selama gue jadi barista, baru sepuluh kali kopi gue ditolak mentah-mentah dengan orang yang sama pula."

Fatir mengangguk kecil sementara itu Rajendra memijit ringan pelipis kirinya. Perempuan pengunjung kopi yang bahkan tidak mereka ketahui namanya sudah berhasil membuat seorang Rajendra Jaladara senewen selama hampir setengah hari penuh.

Pasalnya ini tidak hanya terjadi satu kali, tetapi berulang kali ketika perempuan itu datang. Andaikan dalam keadaan normal mungkin Fatir akan menertawai sahabatnya itu. Rajendra tipikal lelaki yang jarang sekali ambil pusing dengan perkataan atau tindakan orang lain, tetapi lain halnya ketika harga dirinya sebagai seorang barista terusik. Rajendra telalu mencintai profesinya itu melebihi segalanya.

"Gue akan buat cewek itu mau minum kopi buatan gue, Tir. Apa pun caranya."

"Apa pun?"

Rajendra mengangguk mantap. Sedangkan Fatir hanya bisa meringis mendengar tekad lelaki itu.

***

Grinder : mesin penggiling kopi.

Portafilter : Bagian dari mesin espresso dan digunakan untuk menaruh bubuk kopi yang telah digiling.

French Press : Salah satu coffee maker yang dilakukan dengan cara manual.

LoslatenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang