TMAL : (18) Kebenarannya

48.6K 4.1K 31
                                    

18.

“Pergi,” suara Danies yang terdengar dingin membuat senyum Aaron memudar.

Aaron mengerjapkan matanya. Dia melepas Danies dari pelukannya untuk melihat ekspresi cewek itu. Perasaan lega tadi dengan cepat tersapukan oleh rasa was-was yang sekarang Aaron rasakan. Ia tahu, ada sesuatu yang Danies sembunyikan dan—membuatnya seperti ini.

“Kenapa harus pergi?” tanya Aaron, menantang Danies lewat matanya yang memicing.

Danies mendengus geli. Tangannya menepuk bahu yang tadi dirangkul Aaron seolah di sana ada kotoran. Pandangan mata Danies tak fokus pada Aaron, “gak usah sok peduli.”

“Gue gak sok peduli, tapi gue emang peduli,” balas Aaron sengit, “lo kemana aja, akhir-akhir ini?” nada yang ia keluarkan selanjutnya melembut.

Membuang muka, Danies mengeraskan rahangnya. Aaron sendiri hanya terfokus pada Danies. Keduanya tak sadar, beberapa pekerja di backstage dan teman-teman Danies sedang memperhatikan mereka. Danies seketika tersadar saat Bianca dan Cameron menghampiri mereka. Danies balas memeluk Cameron ketika cowok itu merentangkan kedua tangannya. Aaron, yang masih berdiri terpaku, hanya membuang muka. Bahkan, Danies mau ngebales pelukan Cam daripada gue, dalam hati, Aaron mengumpat.

Aaron yakin, ketika Cameron melepas pelukannya dari Danies, sedetik cowok itu melihatnya seolah berkata, lo liat sendiri ‘kan?

Bianca yang menyadari suasana canggung diantara mereka langsung bersuara. “DANIES KEMANA AJA? KANGEN TAU.”

Dengan senyum, Danies membetulkan letak kacamata dan rompi ungunya. Dia tidak menjawab pertanyaan Bianca. Bahkan, Danies sendiri tak tahu harus bereaksi seperti apa. Keadaannya begitu canggung hingga untuk bersuara pun susah. Ketika tak ada dari mereka yang bersuara, sebuah tangan dengan ragu menepuk bahu Danies. Danies membalikkan badan, lalu terpekur. Ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu Carmen juga sahabatnya yang lain. Tanpa pikir panjang, Danies mulai berderap, menghindari Carmen.

“Dan,” panggil Carmen sambil memeluk Danies dari belakang, diikuti teman-temannya yang lain. “Maaf.”

Bersusah payah Danies membangun temboknya lagi, dan hanya dengan dua kata tersebut, pertahanannya nyaris saja goyah. Danies menggigit bibirnya, berusaha untuk mencegah tangisnya yang hampir keluar. Dia tidak mau keadaan semakin susah jika ia berbalik dan balas memeluk mereka.

Tepat saat itu, Jeremy tiba-tiba datang dan terkejut melihat Danies. Jeremy berbicara kepada rekan kerjanya sebentar, lalu berderap menuju cewek itu. “Akhirnya lo mau dateng.” Serunya lega.

Cameron, Bianca, Aaron, dan lainnya langsung terhenyak. Apa maksud perkataan Jeremy? Pikiran buruk langsung menghampiri mereka. Terlebih ketika Danies hanya membuang muka dan malah menatap poster film ABCD Love yang sudah tertanda tangani. Danies datang karena Jeremy menyuruhnnya. Danies datang bukan untuk mereka. Danies datang untuk pekerjaannya.

Tanpa peduli, Jeremy menyorongkan microphone pada Danies dan Bianca. Dia nyengir ketika melihat wajah keduanya bingung. “Lo berdua gak inget? Di bagian anti-klimaks film, lo berdua bakal nyanyi.”

Kini, Bianca dan Danies saling pandang. Bianca nyengir sementara Danies hanya berdecak. Dengan buru-buru, Danies mengambil microphone dari Jeremy dan berjalan menuju stage. Sebenarnya, Danies tahu hari ini akan bernyanyi bersama Bianca. Danies tahu karena ini salah satu bagian dari rencananya.

Seolah tak ada yang harus diobrolkan lagi, Aaron, Cameron, dan sahabat-sahabat Danies hanya menonton penampilan langsung dari Danies dan Bianca di televisi. Mereka duduk dengan perasaan bercampur aduk. Meski senang karena Danies kembali, tapi alasannya lah yang membuat mereka merasa ... buruk. Buruk karena menyadari ini semua karena salah mereka. Jika saja sahabat Danies tak menjauhinya, mungkin semuanya tak serumit ini.

ST [6] - Teach Me About LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang