TMAL : (10) Mulailah Bercerita

48.9K 4.2K 68
                                    

"Nih."

Aku menerima sekaleng coca-cola yang disodorkan Aaron. "Makasih."

Setelahnya, Aaron duduk di sebelahku sambil melepas sepatunya asal. Mataku mengikuti gerakan sepatu Aaron yang memantul di antara dedaunan. Sebenarnya, ada keinginan untuk menatap mata cokelat Aaron alih-alih sepatunya. Tapi, mengingat kadar ke ge-er an Aaron setinggi monas, aku tak jadi melakukannya.

Setelah acara kebut-kebutan di jalan raya, Aaron memaksaku pergi bersamanya ke sini. Sebuah taman kecil yang indah, tempat para lansia menghabiskan waktunya. Terbukti, sedari tadi, aku melihat lansia-lansia berlalu-lalang di depanku.

"Jadi, mau cerita?" itu pertanyaan yang ketiga kalinya dari Aaron, dan kali ini, aku mengangguk.

Entah kenapa, benakku yakin Aaron tipe orang yang bisa dipercaya.

"Kalo gitu, mulai," kata Aaron dengan nada lembut.

"Sebelum aku mengenal Bianca, aku sudah tau ketujuh teman-temanku," kunaikkan tungkai kaki karena merasa dingin. Aku menaruh dagu diantara lipatan lutut, "Mama menyuruhku untuk bergaul dengan mereka. Aku bukan tipe anak yang ngelawan orangtua. Aku menurut, selalu begitu."

Jeda lama. Aku ragu jika harus melanjutkannya. Seolah mengerti, Aaron menepuk pundakku, "gapapa."

Aku mendesah seraya menggigit bibir. "Kadang... aku merasa gak cocok dengan mereka. Mereka seperti... orang-orang yang terkena cahaya sementara aku di belakang, menjadi bayangan mereka, menjaga rahasia untuk diriku sendiri."

"Mereka memang selalu ada. Mereka... care. Mungkin menurut kamu, ini aneh. Karena, semakin mereka care, aku makin tak nyaman," mataku tertuju pada sepatu converseku yang sudah kusam, "Dan Bianca datang secara tiba-tiba tanpa pernah kuduga. Awalnya, aku menjauhi Bianca. Tapi, dia terus berusaha."

Senyum sedihku muncul, "dan dia orang pertama yang berhasil masuk teritorialku."

"Lambat laun, aku sering bersama Bianca. Ini membuat teman-temanku merasa... entahlah. Mereka tak suka aku dan Bianca berteman. Di satu sisi, aku ingin berteman dengan Bianca. Di sisi lain, aku tak mau kehilangan mereka. Sekarang, teman-temanku memberiku pilihan. Mereka atau Bianca. Aku--bimbang."

Hening lama. Hanya terdengar deru nafas kami berdua.

"Kadang, sebaiknya lo ngeliat sudut pandang temen-temen lo. Kadang, karena lo diem, mereka susah nebak apa yang ada di hati lo. Bukannya Tuhan nyiptain mulut salah satunya buat berbicara? Kenapa gak lo pake dan ngejelasin ini ke mereka?" Aaron berdeham, "mereka mungkin gak suka lo sama Bianca karena... karena... suatu hal. Tapi, daripada memilih, kenapa gak lo satuin mereka?"

Aku tersenyum separuh, "gak mungkin bisa, temen-temenku udah pesimis sama Bianca. Dan Bianca tau itu."

"Kalo Danies, gue yakin, pasti bisa," suara Aaron melembut.

Aku menengok pada Aaron dan dia juga. Sekarang, kami bertatap-tatapan seperti di sinetron. How cliche.

"I love you;" Aaron nyengir, dia langsung tertawa ketika aku meninju bahunya.

Sialan, kenapa cowok ini selalu unexcepted?! 

"I hate you," balasku sengit.

"Hate sama dengan Benci kan?" Seringai Aaron melebar, "benar-benar cinta dong? Cie Danies, Cie."

"AARON!" sekarang pasti pipiku semerah tomat karena tawa Aaron makin menjadi.

Kapan aku bisa hidup tenang?

Aarom berhenti tertawa, dia berdeham sebentar lalu menepuk bahuku. "Soal temen-temen lo, kalo kata gue, satuin mereka. Apa menurut lo enak kalo milih salah satu?"

Aku tersenyum, "kamu bener."

"Masih sedih?" tanya Aaron.

"Enggak," aku menggeleng.

"I love you, then." ucap Aaron.

Pipiku kembali memanas, "AARON!"

*

Setelah acara kecil bersama Aaron, aku pulang ke rumah dengan senyuman. Keanehan ini dilihat oleh Daniel yang sudah rapi dengan baju formalnya.

"Ngapain lo senyum-senyum?" tanya Daniel bingung seraya membetulkan dasinya.

"Gak kenapa-kenapa," jawabku singkat, menghempaskan tubuh di sofa lalu mengganti saluran chanel tv.

"Abis pacaran, ya?" tanya Daniel jail.

"Enggak," aku mulai bete. Tingkat ke sok tau an Daniel bener-bener menyebalkan.

"Yaudah si biasa aja, ganti baju sono. Mau ada tamu juga," Daniel menarik-narik rambutku.

"Ih, emang siapa yang mau dateng? Jangan narik-narik rambutku bisa kali," aku mendelik pada Daniel yang malah ketawa.

"Lo lupa? Sodara dan ayah tiri kita bakal dateng in five minutes," tukas Daniel.

Demi apa. Anjrit. Malesin banget. "Boong. Kata Mama kan di restoran."

"Kata Mama, lebih enak di sini. Mereka kan bakal tinggal di sini. Sekalian beresin barang-barang mereka. Daripada di luar, ribet," Daniel memutar bola matanya. "Sono ganti baju. Dandan. Yang cantikan dikit."

Aku menggerutu. "Iya-iya."

Gatau kenapa, aku ngerasa ada sesuatu yang buruk bakal terjadi setelah ini.

Tepat setelah keluarga kecil kami kedatangan orang baru.

✃ ✁ ✃ ✁

Tibatiba ngestuck gitu gara-gara masa UTS, maaf ya pendek:(

Btw, vomment!

ST [6] - Teach Me About LoveWo Geschichten leben. Entdecke jetzt