[Repost] 05: Biru Cerah Sang Langit

22.7K 2.2K 93
                                    

Langit mendengus melirik arloji hitamnya. Ia tidak suka menunggu, apalagi di tempat ramai seperti ini. Belum lagi, mereka—para penggosip di sekolah—berada di satu halte yang sama dengannya. Sial, umpatnya dalam hati.

Seandainya tadi malam ia tidak sembarangan menaruh kunci mobil, mungkin sekarang ia sudah sampai di rumah! Sialnya, kunci mobil miliknya terletak di atas meja ruang tamu, tempat Surya terduduk sambil menyesap kopi dan membaca koran paginya. Langit tidak mau berpapasan dengan pria itu meskipun ia bisa saja membuang muka di setiap langkahnya. Akhirnya, ia terpaksa kembali ke kamar dan mengambil kunci motor di laci nakasnya. Namun, lagi-lagi sialnya, motor Langit kehabisan bensin! Terakhir kali memakainya, ia memang lupa mengisinya kembali dan berniat membeli bensin dengan mobilnya saja. Tapi pak tua itu menggagalkan seluruh rencananya hari ini.

Langit menghela napasnya lega begitu bus yang ditungguinya datang. Ia buru-buru naik ke dalam bus agar mendapat kursi yang nyaman. Sepasang matanya menyisir bangku-bangku kosong yang tersedia. Sampai kedua matanya menatap sosok Bintang yang duduk di bangku ketiga dari belakang. Gadis itu belum menyadari kehadiran Langit karena tengah asyik mendengarkan lagu dengan earphone terpasang di kedua telinganya.

Langit tidak sadar telah berdiri di tengah jalan selama beberapa menit seraya memandangi sisi wajah Bintang, sampai suara kondektur bus mengejutkannya.

"Weh Mas, duduk dah. Banyak yang kosong malah demen berdiri."

Langit berdeham, membersihkan kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering. Baru saja ia mau melangkah, suara kondektur tersebut kembali mengusik.

"Eh jangan pergi dulu, bayar bayar," ucapnya seraya menimang-nimang beberapa recehan di tangannya.

Ingin rasanya mengumpat, tapi Langit masih waras. Bila ia memperpanjang masalah, maka seluruh penghuni bus di sini akan heboh dan membuat suasana menjadi tidak nyaman karenanya.

Laki-laki itu mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu rupiah yang membuat kondektur tadi berdecak. "Uang kecil aje, Mas. Dari tadi uang gede mulu pada ngasih, nggak ada kembalian lagi ntar."

"Ambil aja deh," balas Langit tidak ingin ambil pusing. Jelas saja hal itu membuat wajah kondektur yang sekusam terpal warung jadi berseri-seri.

Bintang yang tengah asyik mengkhayal seraya memandang kosong pemandangan di luar jendela, tiba-tiba merasakan seseorang duduk di sebelahnya dan semakin terkejut saat mendapati siapa yang memilih duduk di sampingnya. Bintang bersiap membuka mulut dan mengucapkan nama Langit, tapi niatnya tersebut kemudian ia urungkan mengingat sikap Langit akhir-akhir ini padanya.

Gadis itu kembali memandangi pemandangan luar tanpa mengindahkan Langit yang kini meliriknya dengan sebelah alis terangkat. Mencoba tidak peduli dengan Bintang, Langit memejamkan kedua matanya. Dengan kendaraan umum, perjalanan ke arah rumahnya lumayan terasa lama. Langit merasa lebih baik mengistirahatkan pikirannya sejenak sebelum otaknya kembali berulah memikirkan gadis di sebelahnya.

Tapi tidak berhasil!

Dengan tetap memejamkan kedua matanya, dahi Langit berkerut dalam hingga kedua alis tebalnya bertaut. Lagi-lagi, ia memikirkan dirinya sendiri juga gadis di sampingnya. Dari sekian banyak—ralat, dua-tiga bangku kosong yang tersedia di bus tersebut, mengapa pilihannya malah duduk di samping gadis ini?

Memaksa dirinya untuk tertidur agar tidak memikirkan hal itu, Langit berhasil membuat dirinya terlelap dengan kedua tangan bersedekap.

Di sampingnya, Bintang mengamati Langit yang tertidur. Dahi laki-laki itu sedikit berkerut, membuat kening Bintang ikut-ikutan mengernyit. Pikirannya tengah berkelana memutar memori di mana tatapan dingin Langit yang mampu membekukan jemarinya. Tapi apa yang dilihatnya saat ini? Langit malah memilih bangku di sampingnya. Bukankah itu artinya Langit sudah baik-baik saja dengannya?

Lagu Untuk BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang