The Twelfth Station - "The Second Message"

Mulai dari awal
                                    

Lihat saja, Putri yang sudah bernyanyi gajelas didepan bersama Clara. Atau Frendy yang sedang memakan permen sembunyi-sembunyi, bukan takut ketahuan guru, tapi ketahuan oleh teman sekelas dan dalam dua detik, seisi permen dalam bungkusan itu telah musnah.

Pokoknya, ruangan ini bukan lagi kelas, lebih mirip seperti kapal pecah.

"Ra, tahu nggak sih, malam ini katanya bakal ada banyak bintang jatuh, lho!" Gracia pindah disamping mejaku, membawa tempat duduknya. "Mau nonton bareng cewek-cewek kelas kita, nggak?"

Aku tersenyum tipis. "Kamu aja deh, hari ini aku sibuk, Cia."

Gracia mengembungkan pipinya, dan menatapku cemberut. "Sibuk apaan sih, Ra? Kamu udah kayak business woman aja, deh."

"Sibuk belajar." Aku menjawab dengan sangat datar. "Minggu depan udah UAS."

"Argh, jangan ingatin aku lagi." Gracia mendesah frustasi. "Anggap aja refreshing sebelum UAS. Kok bisa yah, kamu kuat belajar mulu kayak gini?" Gracia menangkup kedua pipiku dengan dua tangannya, lalu memperhatikan sisi pipiku seolah aku adalah benda. "Jangan-jangan kamu robot yah? Ini sekrupnya mana, ini?"

Aku membalas tanggapannya dengan tatapan datar.

Ini termasuk pencemaran nama baik, nggak sih?

"Yaudah, yaudah." Aku menepis tangannya itu. "Aku usahakan hari ini deh," jawabku yang akhirnya membuat Gracia tersenyum senang.

Tak kusangka, Gracia berlari ke arah para teman perempuan di kelasku yang tengah bergosip. Apalagi dia memekik kuat, membuat seisi kelas menoleh ke arahnya.

"Tyara ikutan!"

Semuanya menatapku dengan tatapan senang, dan hal itu lagi-lagi membuatku hanya bisa geleng-geleng kepala. Gracia..., terlalu heboh.

*

Begitu sampai di depan rumah disore hari, saat membuka pintu, aku melihat sepasang sepatu disana. Ujung bibirku terangkat tanpa mampu kutahan. Rupanya, Papa pulang hari ini.

Dengan setengah berlari, aku mencari keberadaan Papa di lantai dasar. Pintu geser ke arah ruang keluarga pun kugeser, dan terlihat televisi menyala, tapi aku tidak menemukan keberadaan Papa.

Sambil menengok-nengok setiap ruangan tersisa, aku masih juga tidak bisa menemukannya, bahkan di lantai atas sekalipun. Kuperiksa kamarku yang masih berantakan karena tadi pagi aku tak sempat membereskannya. Setengah kecewa tak menemukan Papa disana, aku menutup pintu.

Aku kembali ke ruang keluarga, saat menutup televisi, barulah aku menemukan Papa. Papa tiduran di sofa panjang di depan televisi. Pantas saja aku tidak melihatnya tadi, sebab sofa itu membelakangi pintu geser.

Tak tega membangunkannya, apalagi keningnya tetap mengerut dalam tidurnya, seperti mempunyai beban besar yang sampai terbawa mimpi seperti itu. Akhirnya kubiarkan saja beliau tertidur di sana, daripada mengganggu tidurnya.

Aku kembali ke kamarku, yang berantakan itu. Dengan sedikit malas, aku mulai mengangkat bantal guling dan selimut yang terjatuh ke lantai. Tidak ada niat untuk merapikannya, sebab tak lama lagi malam akan datang, dan aku harus memakainya lagi.

Memang seharusnya aku meminta Bi Erni mengurusnya saja, tapi dulu aku sudah sempat berjanji pada Kakek dan Nenek untuk merapikannya sendiri, dan..., jadilah seperti ini.

Aku pun tiduran di atas kasurku yang sangat nyaman itu. Ukurannya juga tergolong luas untuk satu orang sepertiku, Queen Size. Jadi kadang, kalau aku tidak bisa tidur setelah didatangi suara kereta api itu, aku bisa guling-gulingan seperti kesetanan.

LFS 1 - Air Train [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang