15.2

2.6K 233 30
                                    


Nana menatap punggung di depannya dengan wajah tegang. Di punggung berseragam putih itu mulai terlihat titik-titik keringat, membuat kain itu menempel lekat dan memperlihatkan tulang belakangnya yang bergerak setiap kali Bram mencoba menyetarter motor milik Rio.

"Ayo, naik!" Bram akhirnya berhasil menyalakan motor butut Rio.

Nana langsung menurut dan duduk di boncengan. Motor itu segera meluncur keluar dari area sekolah. Cewek ini kembali merasakan detak jantungnya yang seakan ingin keluar dari tubuhnya.

Bahkan, sejak Bram menariknya keluar dari kelas, jantungnya berpacu dengan cepat. Ia bahkan tidak sempat berpura-pura marah atau melempar tangan Bram yang mengenggamnya kuat-kuat. Ia membiarkan Bram menggandengnya sampai area parkirandan berkeliling mencari motor Rio. Bram baru melepaskan pegangan itu saat mereka sadar tidak bisa menemukan di mana letak motornya, dan Nana harus menelepon Rio untuk bertanya.

Nana menaruh tangan kanannya di dada, mencoba mencari tahu kenapa jantungnya berulah.

"Pegangan!" embusan angin membawa sebuah kata itu ke telinga Nana. Cewek ini refleks mencondongkan badannya ke depan dan berteriak, "Apa?" sambil membuka helm-nya sedikit.

Tak menjawab, Bram meraih tangan Nana yang ada di helmnya dan menaruhnya dengan cepat di pinggangnya. "Kubilang pegangan!" ucapnya keras, bersamaan dengan motor yang berguncang keras.

"BRAAM!" Nana langsung berteriak begitu menyadari apa yang terjadi. Motor mereka sedikit oleng, tapi Bram bisa mengembalikan keseimbangan dengan cepat. Nana melepaskan tangannya dari pinggang Bram dan menggunakannya untuk menepuk punggung cowok itu. "Ngawur kamu! Bahaya, tahu!"

Bram terkekeh, membuat bahunya berguncang kecil. "Makanya pegangan. Kalau enggak pegangan, lebih bahaya lagi. Kenapa? Maunya gandengan tangan aja, enggak mau pinggang?"

"Enak aja!" kilah Nana namun wajahnya memerah. Ia pun memutuskan memfokuskan pandangannya ke jalan raya, bukannya ke punggung cowok menyebalkan ini.

"Eh... kita mau ke mana?" Tanya Nana begitu ia menyadari jalanan yang dilaluinya tidak begitu familiar.

"Tokonya Tante G, kan?" Bram balik bertanya.

"Ke mana?" Nana mencondongkan badannya lagi supaya ia bisa mendengar ucapan Bram dengan jelas. Ia kembali hendak membuka helmnya sedikit tapi diurungkan niatnya.

"Beli lem di Tante G, kan?" Bram mengulang ucapannya.

"Iya, di sana," Nana mengangguk. "Kok lewat sini?"

"Di pojok sana, kan tokonya?" Tanya Bram, mulai memelankan laju motornya.

Nana mengerutkan kening dan sepersekian detik kemudian, ia tertawa. Tertawa lepas, membuat Bram menoleh ke belakang lalu menghentikan motornya di sebuah pohon yang cukup rindang.

Baru kali ini Bram mendengar Nana tertawa lepas. Ralat, baru kali ini Nana tertawa lepas jika ada di dekatnya. Ia bisa merasakan punggungnya tersenggol pundak dan tangan Nana yang ikut bergoncang ketika ia tertawa. Mau tak mau seulas senyum terlukis di wajah Bram. Tawa itu terasa membiusnya sehingga cuaca terik yang ia rasakan tidak begitu menyengat kulitnya lagi. Atau karena memang mereka berhenti di bawah pohon yang cukup rindang.

"Aku baru sadar..." Nana berucap di sela tawanya yang sudah mulai reda. "Kamu ini mirip Mbah-ku."

"Siapa?" Tanya Bram.

"Mbah-ku. Kakek-ku," Nana menjelaskan.

"Aku tahu apa arti kaya 'mbah'. Aku juga orang Surabaya."

Nana terkikik pelan lagi. "Justru itu. Kamu 'sok' jadi orang Surabaya. Kamu sok jadi murid Masehi, padahal... ingatanmu tentang Masehi kan ingatan 5 tahun yang lalu. Tapi semua hal kau sangka masih sama. Ruang tari sudah jadi kopsis sekolah. Pak Totti sudah nggak ngajar bahasa Indonesia karena jadi wakil kepala sekolah. Toko Tante G sudah pindah ke jalan Paus sejak tahun lalu."

"Terus apa hubungannya sama Mbah-mu?"

"Ya mirip. Dia juga sok tahu gitu. Suka ngasih tahu kejadian zamannya. Padahal kan Surabaya terus berkembang. Sekarang dan lima tahun lalu pasti beda."

"Jadi, sekarang kita ke mana?" tanyanya lagi.

"Jalan Paus."

"Jalan Paus itu di mana?"

Sebelum Nana menjawab lagi, ponsel di kantongnya bergetar. Ia memandang sederetan nomor yang tidak ia kenal.

"Halo?" Nana berkata setelah melepas helm dan menekan tombol hijau.

Bram memperhatikan wajah Nana yang menjadi tegang di kaca spion.

"Bram... cari kamu," Nana mengangsurkan ponselnya ke depan.

"Si Rey, ya?"

Nana menggeleng. "Dari kakekmu," ucapnya sambil turun dari motor.

Nana memilih agak bergeser sementara Bram menerima telepon dari kakeknya. Cowok itu juga sudah melepas helm dan turun dari motornya.

"Nggak mau!"

Suara Bram terdengar sengit. Nana ingat ekspresi itu. Ekspresi penuh amarah dan ketegangan yang selalu diperlihatkan Bram pada saat awal tinggal di rumahnya. Ekspresi yang sudah lama tidak dilihatnya itu membuat Nana tiba-tiba merasa takut. Dan sedih. Seakan Bram yang ia kenal tiba-tiba menghilang.

Bram masih beradu mulut dengan kakeknya selama beberapa saat sebelum akhirnya menutup telepon dengan berang.

Nana terdiam. Ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Meski Bram sedang marah, entah kenapa tubuhnya justru terlihat menyedihkan. Bram terlihat menggertakkan giginya beberapa kali, seakan ingin menelan amarah yang baru saja ia rasakan.

"Bram..." Nana berkata pelan. Ingin sekali ia memeluk cowok itu, atau memintanya untuk menceritakan apa yang tarjadi. Tapi lidahnya terasa kelu. Ia juga merasa tak pantas melakukannya. Dengan seluruh kejutekan yang ia berikan pada cowok ini selama beberapa bulan, rasanya Bram tidak akan percaya kalau ia berniat tulus ingin menepuk pundah cowok itu dan memberikan semangat. Bisa-bisa, Bram malah tersinggung dengan sikapnya.

"Bram..." Nana kembali mencoba. Kali ini Bram menoleh. Amarah di mata Bram sudah menghilang, digantikan senyum tipis yang dipaksakan.

"Kalau boleh, aku pengin banget selamanya tinggal di rumah kita," ucap Bram sedih. "Maaf, rumahmu."

"Bener, kok," balas Nana cepat-cepat. "Itu rumah kita."

*

Ada yang kangen Rey dan Gina? Udah lama keduanya nggak muncul ya :)

Tapi kayaknya mereka baru muncul di Bab 17 (kayaknya lho, soalnya belum ditulis)

Gimana menurut kalian bagian ini?

Thank you sudah baca.

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang