9.2

2.2K 243 9
                                    



Bram yakin dendam Nana padanya semakin meningkat. Meski ia sudah setia berada di dekat Rey yang mengucapkan kata 'maaf' sambil nyengir dan menggoda Nana supaya sesekali ia kena setrap (berada di dekat Rey saat proses permintaan maaf itu berarti ia juga meminta maaf, kan?), sepertinya Nana tak menerima sinyalnya maafnya yang ia ucapkan dalam hati. Lihat saja tatapannya sekarang. Bram yakin, kalau mata Nana bisa mengeluarkan laser layaknya Cyclops, pasti tubuhnya sudah terbakar sekarang. Di lapangan yang penuh dengan anggota pramuka yang sedang melakukan upacara ini, Nana justru memelotot padanya.

Setelah upacara ekskul pramuka ini selesai dilaksanakan, para pembina pramuka keluar dari lapangan, meninggalkan para anggota pramuka di tangan pradana dan pradani.

Bram melihat Nana mendekati Aji, sang pradana dan berbisik sambil melirik ke arah Bram. Bram yakin Nana melirik ke arahnya. Teorinya diperkuat dengan kehadiran Nana sesaat kemudian di depannya.

"Abraham!" Nana berdiri tepat di depan Bram. Rahang cewek itu terlihat mengeras, menggertakkan giginya ketika menyebut nama Bram yang tertera di nama dadanya.

"Keluar dari barisan! Sekarang!" Nana membentak. Di sekeliling mereka, semua anggota pramuka menatap Nana. Selain karena suara lantang Nana, juga karena mereka sudah dibagi kelompok berdasarkan jenis kelamin.

Seandainya saja mereka tidak di depan umum, Bram pasti akan balas membentak. Tapi di lingkungan baru seperti ini, cowok ini menuruti perintah Nana. Ia keluar dari barisan.

"Kamu pikir ini ekskul apa?" Nana berteriak, tepat di sebelah telinga Bram. "Mana seragam pramukamu?"

Bram punya alasan kuat buat jawaban itu. Ia baru berencana ikut pramuka kemarin lusa. Wajar saja kalau ia belum punya baju pramuka. Di sekolah mereka ini, hanya anggota pramuka yang memiliki baju pramuka.

"Belum beli," jawab Bram.

"Belum beli, Kak!" Nana meralat dengan lantang, membuat Bram mengernyit.

"Belum beli, Kak!" Nana kembali mengulang dan Bram tahu cewek itu bermaksud menyuruhnya memanggil 'Kak'. Oke, secara senioritas, cewek ini adalah 'kakak'-nya. Tapi berdasarkan umur?

"Okay, dik. Adek mau beliin kakak?" balas Bram, yang disambut gelak tawa anggota pramuka lainnya. Tapi tawa itu langsug hilang begitu Nana melemparkan tatapan cyclopsnya.

"Jawab kenapa kamu satu-satunya yang tidak pakai baju pramuka?" Nana kembali bertanya.

Bram mendesah. Ia memang suka jadi pusat perhatian, tapi bukan begini caranya. Dipermalukan di depan semua orang seperti ini membuat Bram ingin langsung hengkang dari tempat ini, toh sebenarnya ia sudah menemukan beberapa kesalahan kakeknya dan bisa dengan mudah pulang ke Jakarta setelah meminta tolong Lenne mentransfer uang untuknya

"Saya murid baru, memang belum punya baju pramuka."

"Tidak jadi alasan. Bisa pinjam. Apa alasan yang lain?"

Bram terdiam. Memang itu alasan yang ia miliki. Tangannya mengepal, menunjukkan isi hatinya yang mulai panas. Saat ini ia sadar, ia perlu Rey untuk meredam amarahnya.

Bisa dibilang lo ini dapet second chance buat ngulang SMA.

Ucapan itu entah kenapa malah terngiang di kepala Bram. Kalau ini terjadi saat ia benar-benar duduk di bangku SMA pertama kalinya, ia pasti dengan mudah menjawab pertanyaan itu. Menjawab dengan bercandaan, gaya khas si push-up bra yang dikenal Redrigo.

Eh, benar juga!

"Ada!" Bram berteriak penuh percaya diri "Ini cuma alasan supaya saya dekat sama kamu... eh sama kakak. Tuh buktinya, kakak sekarang berdiri tepat di depan saya, kan?"

Sorakan riuh rendah langsung terdengar, diikuti suitan. Dengan cepat, wajah Nana berubah menjadi merah, seakan sinar matahari yang sudah mulai tenggelam itu malah bisa membakar wajahnya.

Sejenak Nana tidak mampu berkata apa-apa, otaknya bekerja dengan maksimal. Seakan mendapatkan pencerahan, Nana mengeluarkan senyum dan memandang sekelilingnya "Sebutkan dasa dharma pramuka ke 10!"

Beberapa orang, sepertinya 'kakak-kakak' pramuka segera menjawab, "suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan."

Nana mengangguk puas dan kembali menatap Bram. "Pramuka itu suci dalam perkataan. Kalau kamu... adek Abraham, tidak bisa mempraktekkannya, kamu tidak akan bertahan lama di sini."

Bram menaikkan alisnya mendengar ucapan Nana. Alih-alih geram, ia malah terlihat bersemangat mendengar ancaman itu. Sepertinya, cewek itu bisa jadi lawannya yang sepadan. Nana selalu bisa menguasai keadaan.

*

Bab 10 nanti malam, ya. Janji, deh :)

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang