12.1

2.1K 228 7
                                    

Nana terbangun dan merasakan tenggorokannya kering. Diulurkan tangannya, mencari botol minumnya di atas nakas. Setelah beberapa saat, cewek yang masih memejamkan matanya di atas tempat tidur ini akhirnya sadar tangannya hanya menggapai udara kosong. Dengan malas, ditegakkannyalah badannya sambil sesekali berdehem dan mengutuk dalam hati kenapa ia bisa lupa membawa botol minumnya. Ia mengerang sesaat ketika menyadari buku akuntansi yang ada di atas tubuhnya terjatuh ketika ia menegakkan badan. Sepertinya tadi ia tertidur. Diliriknya jam di atas nakas yang menunjukkan pukul 11 malam. Belum terlalu malam, tapi ia sudah tertidur nyenyak sekali.

Matanya yang masih mengantuk langsung terbuka lebar ketika kakinya menyentuh lantai yang dingin. Samar-samar terdengar suara tetes hujan di luar saja, pantas saja udara menjadi sedingin ini, pikirnya. Nana keluar dari kamarnya dengan langkah malas.

Langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara seruan tertahan dari arah ruang makan. Lampu di tempat itu pun menyala. Ditajamkan pendengarannya. Ia bisa mengenali suara ayahnya. Lalu suara seorang pria yang lain. Bram, tentu saja. Tidak ada pria lain di rumahnya.

Penasaran, cewek ini mendekat.

"Bapak sendiri tahu akibatnya kalau tidak memenuhi permintaan saya," suara Bram terdengar di telinga Nana. "Penjara. Bapak mau?"

"Tapi Bram... saya benar-benar nggak ada uang. Jatah uang untuk kamu memang hanya segitu. Jadi saya..."

"Bapak lupa ya... yang namanya anak sekolah... selalu ada biaya lain-lain. Uang saku saya tentu saja tidak cukup untuk memenuhi biaya itu. Itulah gunanya seorang 'ayah', kan?"

Nana melihat ayahnya terlihat ragu. Bibirnya bergerak ingin mengatakan sesuatu tapi akirnya tak jadi. Di saat-saat seperti ini, Nana ingin sekali menghambur ke sana dan membentak ayahnya. Mana ada seorang pria dewasa takut pada pemuda 20 tahun seperti Bram? Ayahnya benar-benar tidak bisa diandalkan! Nana bisa merasakan dadanya bergemuruh aneh. Dikepalkannya tangannya tapi ia tidak melakukan apapun. Mana bisa ia mempermalukan ayahnya sendiri di depan Bram. Memarahi ayahnya hanya akan membuat citranya semakin buruk di mata Bram.

"Ayo ambil hapenya. Telepon Opa saya!" Bram membentak dengan tak sabar. "Apa susahnya sih? Atau Bapak lupa nomor teleponnya? Saya pencetkan saja!"

Adi segera mengambil kembali ponsel yang sudah direbut Bram dari tangannya. "Saya... saya saja. Saya Cuma pernah ketemu kakek kamu sekali saja, setelah itu saya selalu berhubungan dengan Pak Yoso. Saya hubungi Pak Yoso saja?"

Bram mendengus semakin tak sabar, "terserah Bapak mau hubungin siapa. Yang penting saya perlu uang itu segera."

Uang!

Kenapa segala sesuatu selalu dihubungkan dengan benda itu? Dada Nana semakin berdebar tak keruan. Amarah mulai mengalir dari ujung kakinya dan terus naik sampai ke ubun-ubun.

"Kenapa? Nggak mau ngikutin perintah saya?" tanya Bram dengan nada mengejek. "Anak dan ayah sama saja ya. Sifat Nana yang nggak mau menuruti perintah itu pasti dari Bapak. Bapak lupa apa isi perjanjiannya? Saya ini ingin suasana rumah ini seperti keluarga. Cih! Keluarga apanya! Bapak ini hanya ingin mengambil uang tapi tidak mau melaksanakan kewajiban, kan?"

"Bukan begitu Bram. Tapi saya sendiri sudah diberi pesan kalau uang untuk kamu hanyalah uang saku. Jadi saya juga nggak bisa minta begitu saja..."

"Ah alasan! Bilang saja Bapak takut dengan Opa saya! Denger ya Pak. Saya bisa aduin perilaku Bapak pada saya. Juga Nana. Anak Bapak itu sudah sering membuat saya jengkel. Di rumah dan di sekolah ia sama sekali tidak membantu saya. Bukannya sudah jelas tujuan saya ke sini adalah untuk menyelesaikan sekolah saya. Kalau kalian semua tidak bisa menciptakan suasana yang mendukung hal itu, apa gunanya Opa saya membayar mahal keluarga Bapak? Mending Bapak kembalikan saja uang punya Opa saya. Saya masih bisa home schoolling!"

Adi terdiam, terlihat bingung harus melakukan apa.

"Bapak nggak tahu ya kalau Nana itu mempermalukan saya di sekolah? Saya pun ikut pramuka karena anak Bapak. Saya diam saja karena dia cewek dan masih di bawah umur. Tapi, sekali lagi anak Bapak melakukan hal itu, saya nggak segan-segan memberitahu Opa saya dan surat pengadilan langsung Bapak terima. Bapak tahu artinya, kan? Penjara."

Nana tercenung. Separah itukah? tanyanya dalam hati. Separah itukah kondisi keluarganya? Sebenarnya berapa hutang yang dimiiki ayahnya sampai ia bisa dipenjara? Nana tahu kalau sejak kematian kakaknya, ayahnya menjadi lebih pendiam. Ia tahu ayahnya jadi sering di rumah. Awalnya hanya sehari dalam seminggu. Lalu menjadi dua hari... pernah juga semingguan penuh ayahnya mengurung diri di kamar. Nana tidak pernah memusingkannya. Ia terlalu sibuk dengan perasaannya sendiri. Sibuk memendam amarah karena ibunya malah terlihat baik-baik saja. Malah terlihat ceria.

Tak pernah terpikir di benak Nana kalau kondisi keluarganya separah itu. Tiba-tiba cewek ini merasa pusing.

Nana memutuskan segera pergi dari tempat ini, kembali ke kamarnya. Tenggorokannya yang kering digantikan dengan dadanya yang sesak. Sepertinya keluarganya masih akan meneruskan permainan ini. Sepertinya ia juga harus ikut bermain dan memerankan perannya. Peran menjadi 'adik' atau teman yang baik bagi artis manja itu.


JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang