12.2

2.1K 218 23
                                    

Bram tidak bisa tidur. Selama berjam-jam, ia hanya menatap langit-langit kamarnya sementara roda-roda di dalam otaknya terus berputar. Siapa sangka menjadi tokoh antagonis bisa begini menyiksa.

Sesuai dugaan, Pak Yosolah yang menerima telepon Adi. Tapi ternyata pria itu tidak mau memberikan uang barang sedikitpun. Dan itu membuat Bram marah. Sayangnya, meski Bram sudah berteriak dan mengancam, tidak ada yang bisa ia lakukan, terutama karena Pak Yoso sudah menutup sambungan telepon.

Bram tentu saja langsung naik pitam. Beberapa tahun terakhir ini, ia selalu mendapatkan apa yang ia mau. Jadi ia melampiaskannya pada Adi, mengata-katainya sebagai pria pengecut, tak tahu diri dan ucapan kasar lainnya yang ternyata bisa keluar dari mulutnya. Bram sendiri terkejut dengan kemampuannya.

Cowok itu berhenti ketika Martha datang tanpa suara dan tiba-tiba bergabung dengan mereka, menanyakan apa yang terjadi. Bram mematung. Bersikap kasar pada Adi dirasakannya sebagai hal yang benar, karena bagaimanapun juga Adi adalah anak buah kakeknya. Tapi Martha?

Rasa malu bergulung-gulung hadir di hatinya, membuat Bram merasa jijik dengan perbuatannya sendiri. Sehingga tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera angkat kaki dan menuju kamarnya.

Sampai ia mendengar ayam berkokok sejam lalu, Bram pun belum bisa menghentikan kerja otaknya yang berkali-kali menderanya dengan perasaan bersalah. Sempat terbersit untuk meminta maaf pada Adi, tapi itu artinya ia membiarkan anak buah kakeknya itu menang. Bram tidak akan melakukannya.

Lebih baik ia mengucapkan selamat tinggal pada acara pramuka itu. Atau, ia bisa tetap pergi tanpa membeli sleeping bag dan backpack northface incarannya. Toh, seharusnya bumi perkemahan Sawiran tidak sedingin beberapa tahun lalu, Bram sedikit berharap.

Peralatan kemah mahal itu bukan hal yang penting, cowok ini kembali mencoba merayu dirinya sendiri. Apalagi ia ikut pramuka bukan karena menyukai kegiatan tali menali, ataupun menghafalkan sandi-sandi aneh yang tidak berguna itu.

Ia mengikutinya karena Nana. Dan keinginan itu makin kuat saat tahu kalau medan magnet Nana mengenai banyak cowok di ekskul itu.

Bram tersenyum tipis. Ia sudah memutuskan, meski harus membeku kedinginan, ia akan tetap mengikuti perkemahan itu. Lagipula, temperature rendah di bumi perkemahan itu seharusnya tidak menganggunya. Ia punya Nana sebagai lawan adu mulutnya. Adrenalinnya pasti benar-benar terpacu saat itu sampai tidak merasakan dingin lagi.

*

"Itu apa?" Bram menunjuk barang yang dibawa Martha di tangannya.

Wanita itu tersenyum. "Tante nemu sleeping bag di gudang. Punya Yohan dulu, kalau Bram mau pakai..."

Kalimat itu sengaja digantung, menunggu respons Bram. Sedangkan Bram sendiri justru menoleh ke arah Nana yang duduk tak jauh darinya di ruang tamu.

Hari minggu pagi ini terasa aneh sekali. Nana, yang seumur-umur tidak mau berada di dekat Bram, justru menemani Bram di ruang tamu. Bram sendiri sedang menunggu Rey datang menjemputnya untuk membeli perlengkapan kemah yang lain.

Berdasarkan pembagian kelompok, Bram diharuskan membawa bahan makanan untuk hidup kelompok selama dua hari. Tapi sebelum itu mereka harus membeli atribut seragam pramuka sampai detik ini belum dilengkapi oleh Bram.

"Nana bantu bersihin, ya. Sudah lama enggak dipake, kan," Nana tiba-tiba menyambar sleeping bag berwarna biru tua itu.

"Kamu. Mau bersihin?" Bram tidak menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia menatap Nana yang sedang tersenyum ramah dengan curiga.

"Iya, sekalian Nana juga mau bersihin punya Nana," cewek itu kembali berujar dengan ceria. "Serahin aja sama Nana. Pasti beres, kok."

Kalau Martha menyambut sikap ceria Nana dengan senang, Bram justru bergidik ngeri. Cewek itu baru saja memanggil dirinya sendiri dengan nama.

*

Ngeri!

Cewek yang tiba-tiba baik itu ngeri. Bram masih melemparkan pandangan aneh pada Nana setelah mereka keluar dari toko perlengkapan pramuka.

Tadi, begitu Rey datang bersama Gina—yang diprotes Bram karena ia pikir hari ini hanya para cowok saja yang pergi—mereka langsung menuju ke toko langganan Nana.

"Awww... My lacey bra cuma pengin pergi sama gue..." jawab Rey sambil pura-pura terharu.

Bram, tentu saja langsung bergidik ngeri dan segera menyuruh Gina ikut mereka. Lagipula, yang membawa mobil hanya Gina. Kalau Gina tidak diajak, bisa-bisa mereka harus naik kendaraan umum.

Bram sengaja tidak mengajak Nana. Tanpa ditanya pun ia tahu Nana pasti menolak. Tapi anehnya, hari ini Nana justru menawarkan diri.

"Biar aku bantu milihin. Lagian aku kan sudah kenal sama Pak Sabar-nya, pasti dikasih harga diskon," itulah yang membuat Nana ikut pergi bersama mereka bertiga.

Dan lagi-lagi, tidak ada yang menganggap itu aneh kecuali Bram. Gina dan Rey malah menyambut penawaran Nana dengan senang.

Mencurigakan.

"Kamu sudah siap pergi kemah!" Nana tiba-tiba menepuk Bram dengan akrab sementara Gina menelepon sopirnya untuk menjemput mereka kembali.

Sikap lembut itu membuat Bram semakin memicingkan mata. Nana yang mau membantunya membeli perlengkapan pramuka saja sudah mencurigakan, apalagi sekarang gadis ini bersikap sok akrab.

Sebenarnya, apa yang direncanakannya?

"Kamu berharap banget ya aku ikutan kemah? Punya rencana apa?" Bram akhirnya bertanya dengan suara keras, membuat Gina dan Rey menoleh.

Nana mengangkat bahu. Sesaat, raut wajahnya berubah menjadi sendu. Namun hanya sepersekian detik, karena detik selanjutnya yang terlihat oleh Bram hanyalah sebuah senyum lebar. "Nggak ada niatan apa-apa. Masa kita tinggal serumah nggak saling bantu. Ya, kan?"

*


Sebenarnya, agak kaget juga baca respons kalian di bab sebelumnya. 

Jadinya, aku nambahin beberapa hal sebelum lanjut ke Nana yang bersikap baik. Nana yang suka senyum jadi agak aneh, ya ahahha.

Semoga, pada enggak marah sama Jacksay :)

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang