Mania dan Depresi

Start from the beginning
                                    

"Sudah aku bilang, kan, aku nggak pernah selingkuh."

Andreas menyunggingkan bibir yang bernilai merendahkan. "Kamu nggak mau tanya, apa aku sudah nikah?"

"Memangnya penting?" cibir Laudya dengan nada muak. "Sudah aku tebak, kok. Ibu kamu sudah menyiapkan seribu gadis. Dia sama sekali berusaha terlihat baik, ya? Ingin kelihatan sempurna. Persis kamu."

"Seenggaknya dia nggak ninggalin aku demi lelaki lain," jawab Andreas. "Dan yang paling penting, selangkangannya nggak pakai tarif."

Andreas tertawa puas sampai-sampai geraham belakangnya kelihatan.

"Pulang sekarang?" Untung Ayyash keburu datang. Kalau tidak, gelas bekas jusnya bisa melayang ke muka Andreas yang masih terpingkal-pingkal!

"Kasihan ya, anak di perut kamu." Kata-kata Andreas membuat langkah mantan istrinya berhenti. "Dia pasti malu jika tahu dirinya tercorak dari hasil hubungan gelap dan terbentuk di luar nikah."

Laudya berbalik lalu berucap, "Terima kasih, Andreas. Sekarang aku yakin keputusan untuk bercerai tidaklah salah."

"Kamu pasti menyesal."

"Satu-satunya yang aku sesali hanya satu." Sambil mengepalkan tangan, Laudya mengatur napas sebentar. "Seharusnya aku nggak berhenti ngusut kematian Dion. Seandainya waktu itu aku meneruskannya, mungkin kata-kata kotor kamu nggak akan terucap."

"Apa maksud kamu?"

"Sampai kapan kamu akan hidup seperti ini?" Laudya tersenyum merendahkan. "Aku harap kamu segera berhenti dan menyerahkan diri."

"Hei, kamu ngomong apa, sih?"

"Permisi, Andreas."

*
*
*

Seminggu berlalu.

Andreas memeluk lutut dengan tubuh bergetar. Giginya bergeretak sementara badannya menggigil seperti orang sakit. Berkali-kali ia terlihat tertawa, tapi dua detik selanjutnya malah meraung-raung. Gilakah dia?

Bisa jadi. Ia benar-benar tak bisa mengontrol diri. Pikirannya sangat kalut.

Ini gara-gara Laudya. Beberapa waktu lalu perempuan itu muncul. Sudah menikah dengan selingkuhannya, hamil besar, dan tampak bahagia. Sedangkan dirinya masih duda. Nggak laku. Juga tak bahagia.

"Nggak! Nggak! Nggak!" kata Andreas sambil menjambak rambut tanpa sadar. "Aku masih ganteng, kaya, cerdas, gagah, digilai wanita, dan sempurna!"

"Siapa bilang kamu sempurna?"

Andreas mencari sumber suara. Kanan dan kiri, atas dan bawah. Tapi aneh! Tidak ada siapa-siapa. Di kamarnya tak ada makhluk lain kecuali dirinya dan dua cicak yang sedang memperebutkan nyamuk.

Sial! Lagi-lagi halusinasi.

Ternyata Andreas tak bisa membohongi hati. Terutama setelah bertemu Laudya. Ia begitu marah, merasa terhina, dan cemburu. Ucapan kasar saat itu hanya manifestasi amarahnya. Tingkah sengak adalah refleksi darahnya yang mendidih. Dan lagaknya selama ini hanya pura-pura.

Ia tak sekeren pikiran orang. Di mana terlihat berkuasa meski tanpa pendamping. Sejujurnya ia merasa sangat rendah diri. Lebih-lebih karena Laudya sudah punya pengganti, sementara dirinya masih duda.

Ia merasa tumbang. Pertemuan minggu lalulah puncak kekalahannya. Perisai pertahannya roboh. Ia tak mau mengakui, tapi kalbu tak bisa berdusta. Ia seperti kembali menjadi dirinya di masa lalu, yang payah, nggak laku, dan tak bernilai. Oke, itu mungkin hanya sugesti saja. Tapi sumpah, ia seperti orang gila.

FilantropiWhere stories live. Discover now