15. Don't let me go

8K 322 12
                                    

Justin tidak pernah tahu rasanya penolakan akan sesakit ini. Dadanya sesak, seperti terhimpit. Apakah ini yang selalu Charisa rasakan ? Lalu bagaimana cara gadis itu mengatasinya ? Mengapa gadis itu bisa setegar itu ?

Bagaimana pun sekarang keadaannya telah berbalik. Justin lah yang merasakan sesaknya. Justin lah yang hancur. Apakah semuanya akan baik-baik saja? Apakah Justin bisa bertingkah seceria Charisa saat hatinya begitu sakit ?

Dia tidak yakin, namun harus mencobanya.

Justin mendesah sebelum berbalik dan tak lagi mengharapkan Charisa akan berbalik arah kepadanya. Namun, saat hendak berbelok Anne menahan lengannya.

"Apa kau baik-baik saja ?" Justin terkekeh mendengar pertanyaan Anne.

"Apa aku terlihat baik-baik saja?" bukannya menjawab Justin malah bertanya balik ingin memastikan tanggapan Anne. Anne mengeleng dengan kernyitan pada keningnya.

"Tentu saja tidak. Kau terlihat... Kacau." komentar Anne yang di hadiahi anggukan setuju oleh Justin.

"Semuanya memang kacau, An."
Anne diam menunggu pernyataan Justin yang selanjutnya. Laki-laki itu menghela nafasnya pelan.

"Aku terlalu senang dikejar. Aku berlari terlalu jauh tanpa pernah sadar ia sudah lelah dan ingin menyerah mengejarku."

"Ah, Charisa?" Perumpamaan yang Justin berikan langsung ditangkap oleh Anne. Justin tak perlu lagi repot-repot menjelaskan pada Anne. Justin berjalan beriringan dengan Anne.

"Aku tidak menyangka semuanya akan sekacau ini. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana gadis itu bisa meninggalkan hidupku yang tenang.

"Aku selalu membayangkan hidupku yang akan sangat bahagia tanpanya disisiku. Tapi, sepertinya aku salah. Hidupku terasa kosong, padahal baru tadi malam dia mengabaikanku. Bagaimana rasanya dia yang selalu kuabaikan selama ini?

"Otak pintarku menjadi bebal setiap berdekatan dengannya. Mulut sialanku selalu mengatainya dengan kata-kata menyakitkan. Aku... Aku hanya terlalu gugup saat dia melakukan semuanya untukku. Aku takut menyakitinya jika dia bersamaku namun nyatanya memang seperti itu. Dia selalu tersakiti tapi dapat menyembunyikan dengan pintar. Aku saja yang pura-pura bodoh tak melihat itu. Aku buta akan rasa tak perduliku." Anne menatap Justin dalam, guratan cemas membuat Anne mencelos ditempat. Justin terlihat begitu gelisah.

"Satu bulan lagi keberangkatanku, aku harus sesegera mungkin mendapatkan maafnya. Tapi seumur hidup-pun waktuku tidak akan pernah cukup. Aku menyakiti perasaan tulusnya." Justin berdehem untuk menghilangkan nada bergetar dalam suaranya. Anne mendesah panjang.

"Kau menyukainya?"

"Apakah ini pantas di sebut rasa suka? Kurasa ini lebih pantas disebut rasa cinta. Aku mencintainya, An." Anne memejamkan matanya mendengar kenyataan pahit yang Justin lontarkan di depannya.

"Secepat itu? Apa karena kau merasa bersalah padanya?"

"Perasaan ini sudah sangat lama. Hanya saja pikiran brengsekku selalu menghalaunya. Aku selalu berpikir untuk tidak menyukai gadis bodoh itu, tapi hatiku malah menginginkannya." Kata Justin lirih sambil memandang lurus. Dia tidak tahu dia dan Anne ternyata berhenti tepat di depan perpustakaan yang kosong.

"Lalu, kau hanya perlu mendengarkan pikiranmu." sahut Anne pelan. Justin melirik Anne lalu tersenyum miring.

"Untuk urusan cinta, yang berperan bukanlah pikiran tapi hati. Biar hati yang mengambil alih segala sesuatu yang kau rasakan."

"Tapi jika kau tidak menggunakan pikiranmu, kau bisa gila. Pikiranpun dibutuhkan dalam mencintai." sanggah Anne tidak terima dengan perkataan Justin, Justin terdiam sejenak lantas menganguk.

"Yah, kau benar. Tapi itulah keunikan cinta, kau bisa gila dan bodoh dibuatnya. Namun begitulah cinta, kau juga bisa merasakan kebahagiaan yang tak pernah kau dapatkan dari siapapun sebelumnya. Itulah cinta An." jawab Justin santai, Anne mengeleng masih tidak puas juga.

"Itu menurutmu Justin. Menurutku cinta tak perlu menjadi orang bodoh, tak perlu menjadi orang gila, cinta itu hanya perlu mencintai jika tak dibalas pergi jika dibalas bersyukurlah karena kau akan merasakan kebahagiaa." Justin hanya melirik Anne.

"Anne kau tahu, terkadang aku berfikir kenapa aku selalu membuat Charisa menunggu disaat aku tahu hatiku menginginkannya. Aku selalu saja membuat dia sedih. Walaupun begitu, aku tidak memiliki niatan lain. Aku hanya ingin ia selalu membuat mencintaiku. Dan kau tahu, cinta itu memang begitu. Cinta itu bodoh,menyakitkan dan gila. Cinta memang begitu adanya."Tegas Justin telak. Anne hanya diam sambil melihat keseriusan di mata Justin.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"

Justin tersenyum lebar. Sangat lebar hingga Anne baru ingat, ini senyuman lebar pertama yang Anne lihat.

"Aku akan memperjuangkan, milikku."

********

Memasuki minggu ketiga setelah pertengkarannya dengan Justin, Charisa sudah kembali normal. Walaupun tatapannya kadang-kadang terlihat kosong dan merindukan sesuatu. Namun, hal gila dan menyebalkan seperti sudah menjadi nama tengah gadis itu.

Seperti saat ini, Charisa berlari tanpa sepatu mengelilingi lapangan basket sekolahnya yang sangat besar. Ini sudah putaran ke tiga, tapi Charisa belum menyerah.

"Charisa berhenti disana!" seorang guru dengan rambut tegerai berlari mengejarnya, Charisa berhenti sejenak lantas menoleh kebelakang dengan wajah memerah karena lelah juga karena terlalu banyak tertawa.

Akhir-akhir ini nama Charisa terlalu banyak di catat guru karena keterlambatannya datang ke sekolah. Charisa menahan tawa melihat gurunya yang kembali mengambil ancang-ancang untuk mengejarnya kembali. Sambil menatap guru itu Charisa berlari, tawanya pecah dengan matanya yang berkaca-kaca karena terlalu lama tertawa.

Tanpa sadar, Charisa menabrak tubug seseorang didepannya. Seseorang itu memeluk pingang Charisa, menyanggah tubuh gadis itu. Mereka terjatuh dengan sempurna di lapangan basket tersebut dengan laki-laki itu dibawah dan Charisa di atasnya. Charisa membuka matanya, melihat sosok orang yang dia jauhi beberapa minggu ini.

Begitu sadar, Charisa langsung mencoba bangkit tapi laki-laki itu langsung menarik tengkuk Charisa lantas menyentuh bibir Charisa dengan bibirnya. Mata Charisa membulat, dia sangat terkejut sekaligus kecewa. Kenapa dia harus melakukannya di saat keadaan mereka seperti ini. Mungkin jika dulu, saat Charisa masih benar-benar mengharapkannya dia akan sangat senang hati. Tapi jika seperti ini? Hatinya sakit. Apalagi, lagi-lagi hatinya menghianatinya. Jantungnya berdetak keras seakan-akan meledak saat ini juga.

Charisa benci situasi ini.

"Charisa, Justin. Keruangan saya sekarang!"

Ah, sepertinya masalah baru lagi.

Childish Vs. Arrogant [END]Where stories live. Discover now