30

832 169 13
                                    

10.30 p.m

Setelah mengikat dengan kuat kedua tangan Lily, dan juga memastikan ikatan Michael tak longgar, aku kembali meninggalkan rumahku.

Aku masuk kedalam mobilku dan menghidupkan mesinnya. Kulirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku lalu menghela nafasku. Kurogoh kantung celanaku untuk mengambil handphoneku. Setelah mendapatkannya, aku memutuskan untuk mencari nama Calum di daftar panggilan.

Berkali-kali harus kutelpon dia namun tak satupun panggilanku yang diangkatnya. Aku menghembuskan nafasku berat kemudian menjalankan mobilku menyusuri malam.

Kupelankan laju mobilku ketika mataku menangkap sebuah rumah diujung jalan. Tanganku bergetar diatas kemudi mobilku. Air mataku berjatuhan tak karuan. Aku berusaha untuk bernafas normal tapi...aku tidak bisa.

Aku turun dari mobilku dan langsung terjatuh berlutut ketika kakiku menyentuh rerumputan usang yang sudah tak lagi terawat.

Setelah berusaha untuk menguasai diriku, aku kembali berdiri. Kulangkahkan kakiku menuju pintu depan rumah ini. Kubuka pintu ini lalu dengan sekejap kenangan-kenangan masa lalu itu hinggap didalam pikiranku.

Aku menutup pintu dibelakangku dengan pelan, dengan langkah kecil aku menghampiri sofa dimana biasanya dulu satu keluarga kecil nan bahagia berkumpul. Aku duduk diatas sofanya seraya terus-terusan menangis.

Ini adalah rumahku beberapa tahun silam. Keluarga kecil itu adalah keluargaku.

Aku masih ingat, ketika aku harus menemani Lauren bermain disofa ini ataupun ketika kami sekeluarga berkumpul disini entah itu hanya untuk sekejar mengobrol, menonton televisi.

Tak tahan dengan kenangan manis itu, aku bangkit dari dudukku dan melangkah kembali menuju tangga. Kakiku dan tanganku semakin bergetar ketika anak demi anak tangga yang kunaiki.

Langkahku terhenti ketika diriku sudah berdiri dilorong. Disebelah kananku ada kamar kedua orang tuaku dan diujung lorong ada kamarku dan kamar adikku, Lauren.

Aku kembali terjatuh tak kuasa menopang tubuhku lebih lama lagi. Air mataku terus-terusan berjatuhan seraya mengingat kejadian beberapa tahun silam.

Saat itu, aku yang sedang berusaha memejamkan mataku untuk tidur tiba-tiba aku mendengar suara jeritan dari kamar orang tuaku. Dengan refleks aku bangun dari kasurku dan berlari keluar.

Langkahku terhenti ketika melihat seorang bocah lelaki yang seumuran denganku dengan pisau daging yang berlumuran darah keluar dari kamar kedua orang tuaku.

Aku bersembunyi dibalik tembok kamarku dan mengintip gerak-gerik lelaki itu. Bocah itu masuk kedalam kamar adik perempuan yang amat sangat kusayangi. Aku mendengar jeritan nyaring keluar dari mulut adikku yang masih berumur 5 tahun saat itu. Aku ingin maju dan masuk kedalam kamar adikku. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain bersembunyi dibalik tembok.

Lalu, mataku menangkap lelaki itu dengan tatapan dinginnya keluar dari kamar adikku dengan bercak darah dimana-mana. Nyaliku langsung ciut saat itu juga. Bukan apa-apa, tetapi aku tidak memiliki alat pelindung apapun untuk melawan.

Lelaki itu...Luke.

Pun, aku kembali kekamarku dan bersembunyi ditempat persembunyianku. Dibalik lemariku ada lubang kecil yang menghubungkan kamarku dengan ruang bawah tanah.

Dengan air mata yang berlinang, aku terus merayap menuju ruang bawah tanah milikku. Telah sampai disana, aku langsun berlari keluar dari rumahku dan meninggalkan seluruh kenangan dirumah ini.

Aku mengelap air mataku yang terus-terusan terjatuh.  Aku menolehkan kepalaku kearah atas kiriku dan melihat figura foto keluargaku.

Aku merindukan mereka.

Aku menyeka air mataku yang terus-terusan mengalir. Kuhembuskan nafasku berkali-kali untuk menenangkan diriku. Aku berdiri dan melangkah kearah kamar Lauren.

Didalam kamarnya, aku masih bisa menemukan figura foto kecil diriku bersamanya ketika kami masih kecil. Aku mengelus pelan figura itu, mataku terpejam menahan air mataku.

Andai waktu bisa diulang, aku tidak akan membiarkan Luke membunuh keluargaku. Setidaknya, jika ia berhasil membunuh kedua orang tuaku, biarkan aku menyelamati adikku.

Kukepalkan kedua tanganku menahan amarah yang sudah lama terpendam dilubuk hatiku. Tiba-tiba, aku merasakan getaran didalam kantung celanaku. Handphoneku bergetar menandakan seseorang menelponku.

Dengan cepat aku merogoh kantung celanaku dan mengambil benda kotak panjang berwarna putih itu. Senyumanku terukir seketika.

Calum H. is calling...

Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangkat telpon darinya. Hening beberapa saat hingga ia menyapaku terlebih dahulu, "ada apa lo nelpon gue tadi? Gue lagi tidur."

"Maaf deh kalo ganggu lo tidur, tapi, ini lebih penting dari tidur lo!" Kataku dengan suara yang dibuat sepanik mungkin.

"Kenapa?"

"Luke nyulik Michael sama Lily, Cal!"

"Loh, kok bisa?"

"Kalo Michael, waktu kemaren gue mau kekantor polisi, Luke tiba-tiba dateng terus langsung narik Michael sama dia tanpa bisa gue lawan soalnya dia ngebawa pisau, dude. Begitupula dengan Lily. Gue gak berani ngelawan, Cal."

"Ah, ok lo tenang dulu. Lo jemput gue dirumah aja gimana? Lo ceritain secara detail," ucapnya sedikit panik.

Seringaian muncul diwajahku ketika tau bahwa aktingku berhasil.

"Oke, gue kesana ya," tutupku.

Aku terkekeh pelan mengetahui kebodohan mereka semua. Tanganku kemudian meraih kembali figura kecil itu dan berkata, "satu umpan sudah siap kumasukkan kedalam sungai. Hanya tinggal menunggu seekor ikan yang siap menyambar umpan dariku," kataku dengan senyuman miringku.

Aku kemudian berlalu pergi meninggalkan rumah lamaku dan masuk kembali kedalam mobilku. Menghidupkan mobil dan menyusuri jalanan yang lengah dari kendaraan.

---

NAH, UDAH TAU KAN KENAPA ASH JADI JAHAT. ITU CLUE TERBESAR LOH GAEESSSSSS KELEN HARUS PEKA OK.

MUNGKIN TINGGAL BEBERAPA CHAPTER LAGI, ADDICTED ENDING. HUAAA GA SABAR.

Addicted || l.r.hTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang