The Sixth Station - "The Falling Name"

Start from the beginning
                                    

"Tunggu." Gracia mengerutkan keningnya. "Tapi aku penasaran, mengapa Aretha bisa seperti itu? Bukannya dia hidup dalam keluarga yang damai?"

Runa menggeleng. "Tidak seindah yang kita pikirkan. Orangtua Aretha sering bertengkar. Di sanalah masalahnya. Terkadang sebuah keluarga yang tampak baik-baik saja diluar, belum tentu baik-baik saja di dalamnya, kan?"

DEG!

Jantungku terasa nyeri untuk beberapa alasan. Aku seperti merasa sedang dibicarakan? Tunggu, aku tidak mengerti.

"Maksudmu dia kurang kasih sayang?"

Runa mengangguk menyetujui. "Lebih parah dari itu. Retha sering menjadi pelampiasan amarah kedua orangtuanya. Biasa kita menyebutnya..., kekerasan fisik."

"Darimana kamu mendapat ide cerita ini, Na? Kok..., aku ngeri?"

"Based on True Story. Aku ngebaca dari artikel, yah, walau versi aslinya beda, sih," jawab Runa.

Aku berdiri dan bergerak menuju pintu dengan langkah lebar-lebar. Aku tidak sanggup mendengarkan.

Mengapa aku marah? Mengapa aku kesal? Dan mengapa..., aku merasa sedang dibicarakan?

"Ra?" Gracia menghentikan langkahku. "Kamu mau ke mana?"

Aku mengeluarkan ponselku dan memperlihatkan layar hitam disana. "Daritadi getar mulu, aku mau nge-check dulu."

"Oh, buruan ya."

Aku mengangguk, tersenyum, berjalan menuju pintu, menutupnya, melangkah cepat-cepat dan segera mencari tempat kosong untuk bernafas. Aku merasa berada di ruangan yang sempit dan kekurangan oksigen.

Sampai akhirnya aku sampai di atap sekolah yang didatangi oleh sepasang manusia yang tengah saling bergandengan yang entah mengapa memilih atap yang sepi sebagai tempat berkencan mereka. Tapi, aku tidak menghiraukan mereka dan memutuskan untuk menarik nafas panjang-panjang.

"Tenanglah, tenanglah," gumamku kecil mencoba menghibur diriku sendiri. "Itu hanya sebuah cerita yang sedikit dikembangkan dari cerita nyata, dan lagipula Papa dan Mama tidak menyiksaku." aku mengelus dadaku dan merasakan jantungku berdebar cepat.

Entahlah efek gelisah atau karena aku berlari disepanjang perjalananku kemari tadi.

Aku memutuskan untuk duduk di atap di dekat jaring-jaring besi yang berguna sebagai pembatas. Aku duduk dan memperhatikan lapangan di bawah sana. Mereka sudah mulai membangun stand.

Melihat ada banyak stand yang dibangun di sana dan juga kabar tentang anak SMA yang juga boleh membangun stand, aku langsung berpikir bahwa acara School Meeting kali ini akan sangat ramai. Apalagi acara ini bersifat terbuka, dimana semua orang boleh mengunjunginya.

Baru saja hanyut dalam pemikiranku beberapa detik, suara itu kembali mengangguku, membuatku sontak berdiri dan mencari asal suara itu.

Bahkan saat tak sengaja kulirik, pasangan yang kumaksud tadi menatapku gelagapan. Entah apa yang mereka lakukan tadi, yang jelas, aku sama sekali tidak melihatnya.

Dari ujung sana, aku melihat kedatangan kereta api itu. Kukira kereta api itu akan berhenti di atap, ternyata aku salah. Kereta api itu turun ke bawah dan mendarat di lapangan basket. Aku langsung turun untuk mendatangi kereta api itu saking penasarannya.

Aku masih penasaran dengan pemuda yang ada di dalam kereta api itu. Sudah beberapa minggu aku menunggu kedatangan kereta api yang tiba-tiba saja absen beberapa kali mendatangiku. Saat hendak turun, aku menabrak seseorang.

"Maaf!" sahutku tanpa melihat siapa yang kutabrak dan langsung turun dengan buru-buru.

Aku tidak menghiraukan umpatan yang dikeluarkan orang itu dan masih berusaha sampai di lantai dasar. Padahal, tadi aku berada di lantai tertinggi di sekolah-lantai lima.

Sesampainya di bawah, aku mendapati kereta api itu sudah mengeluarkan suara melengking tanda peringatan bahwa kereta api akan segera berangkat. Bahkan belum sampat aku berjalan ke lapangan basket, kereta api itu sudah melaju meninggalkanku.

Aku ingin mengumpat sial, namun batal saat kuperhatikan sebuah kertas berwarna biru muda jatuh dari atas langit, seperti ada yang membuangnya.

Aku pun menangkap kertas biru muda itu dan memutuskan untuk menyimpannya. Semuanya terasa aneh, saat kurasakan semua mata kini menatap ke arahku. Sudah kukatakan kalau aku tidak suka dilihat, tapi mengapa mereka sangat suka melihatku?

Mereka pasti mengira aku aneh, terus memperhatikan langit dan menangkap kertas tadi. Ugh.

Aku berjalan cepat memasuki gedung sekolah, menghindari malu.

Sampai di tempat yang sepi, kuberanikan diri membuka kertas itu. Ada sedikit rasa gugup, gelisah, gundah, galau, dan gembira yang bercampur aduk. Tulisan yang ditulis dengan tinta hitam cair di atas kertas biru itu, dan kubaca tulisan itu dalam hati.

Aetherd

***TBC***

17 Juni 2016, Jumat.

Cindyana's Note

Ah, sudahlah. Dari judulpun, kalian pasti mengerti apa topik kita hari ini.

Tetap santai, semuaa, kereta akan kembali berangkat! Jangan lupa menyerahkan tiket dengan bentuk vomment. And thanks for #98 Fantasy today.

Aetherd, abang Aeth. Oke, oke. Namanya susah dilafalkan. Aetherd Aetherd Aetherd Aetherd Aetherd. Lafalkan dengan cepat dan pastikan tidak ada meteor yang jatuh #Plak.

Diketik tanggal [20/01/2016-21:17]

Salam, Cindyana H

LFS 1 - Air Train [END]Where stories live. Discover now