Dan benar tebakannya. Gadis itu lebih muda darinya. Ia anak kelas empat dari SD sebelah. Diam-diam Andreas sering memperhatikan sebelum bel masuk dan saat menunggu supirnya. Namanya Laudya, punya teman--tapi lebih pantas disebut abangnya--kelas dua SMP, semua bajunya butut, dan selalu diolok teman-temannya.

Namun, meski Andreas tahu soal Laudya, ia tak pernah menemuinya lagi. Ia malu!

"Aku jelek, lemah, bodoh, dan kecil. Laudya nggak akan mau temenan sama aku." Begitulah cara lisannya membunuh kepercayaan dirinya.

Ingin rasanya Andreas mengobrol dengan Laudya. Entah kenalan, basa-basi, ataupun menghilangkan refleksi negatif. Aah, seandainya saja ada kesempatan, Andreas pasti akan sangat senang.

Dan rupanya Tuhan menjawab keinginan si Mini. Dia mengirimkan anak-anak nakal untuk mengganggunya setiap Andreas kabur dari jemputan supirnya.

"Kenapa kamu selalu diam saat mereka mau ambil uang kamu?" tanya Laudya. Ini entah keberapa kalinya menemukan si Mini diganggu. Oleh anak SMP-lah, oleh anak SD beda sekolahlah. Bahkan oleh anak jalanan yang masih kecil-kecil pun ia tak mau melawan.

"Aku kecil dan lemah. Aku nggak akan bisa ngelawan."

"Dari dulu alasan kamu cuma itu," tukas Laudya. "Bahkan kamu menilai diri kamu jelek, bodoh, dan nggak bisa bergaul."

"Memang kenyataannya begitu," jawab Andreas separuh merengek. Selain lemah, ia juga sering nangis tanpa sebab. Huh, dasar bocah!

"Sekarang dengar!" Laudya memegang bahunya, mendekatkan wajah, lalu menatap lekat-lekat. "Kamu kuat. Kamu hebat. Kamu pintar."

Seperti biasa, Andreas merasa lain. Angka, hafalan, dan semua halusinasinya buyar. Tidak ada tulisan yang terbang, tidak ada bisikan-bisikan, tidak ada mimpi buruk. Dan kata-kata anak ini ... benarkah semua? Aku kuat, hebat, dan pintar.

"Sekarang kamu memang kurus kecil, tapi aku percaya kamu bisa tumbuh lebih baik."

"Benarkah?"

"Iya. Kamu kuat, hebat, dan pintar." Laudya mengulangi sambil mengangguk mantap. "Buang semua pikiran negatif kamu, Anak Hebat!" sambungnya. "Yakinkan hati. Kamu hebat. Kamu pintar. Kamu cakep. Kamu kuat. Mulai sekarang, lakukanlah apa-apa yang bisa membuat kamu menang melawan kerendahan diri."

Laudya tersenyum cerah.

Aduhai, sunggingan bibirnya begitu menarik! Begitu menggemaskan! batin Andreas.

Ia sangat tahu arti guncangan dahsyat di dada, tapi juga paham dirinya masih anak-anak. Terlalu cepat jika dirinya tertarik pada lawan jenis. Andreas hanya kagum. Gadis di hadapannya kuat, penolong, dan tak pernah takut pada apa pun. Yang paling penting, ialah yang menjadi pengubah jalan pikirannya. Motivasi dan obsesinya.

*
*
*

Andreas terbangun dari tidur. Uh, lagi-lagi mimpi serupa, pikirnya sambil memegang pelipis. Selama tiga bulan ini hampir sembilan puluh persen malamnya dihadiri buah tidur yang sama. Kisah kecil yang memalukan, juga Laudya.

Apa artinya buah tidur seperti itu? Kenapa Tuhan masih saja memberinya bayang-bayang mantan istrinya? Tak tahukah Dia kalau Andreas tak mau mengingat, entah itu Laudya, entah itu masa kecilnya.

Sudah lama sekali Andreas melupakan masa itu. Malu sekaligus merasa terhina kalau ada orang yang tahu. Untuk itulah, ia menutup ketidaksempurnaannya dengan menjadi pribadi lain. Yang tak diremehkan, tak dianggap sebelah mata, dan tak disangka pernah merasakan ketidaksempurnaan.

FilantropiWhere stories live. Discover now