※ Un → Ladislas (v) ※

53 3 2
                                    

"Are you single now?"

Ladislas berjuang mengambil nafas untuk beberapa detik. Ditundukkannya kepalanya dan tangan kirinya mengusap keseluruhan wajahnya. Ia terlihat bimbang dan rasa bersalah terpapar jelas di wajahnya.

"No,"

Dan seketika semua harapan yang kugantung semenjak Aneliese berkata bahwa aku adalah cinta pertamanya runtuh sudah. Semua harapan yang sekiranya berbunyi "Oh, mungkin aku akan berakhir dengannya", "Yang pertama selalu akan menjadi yang paling berkesan", dan "Ya, kami akan bahagia dan ia tak perlu repot repot pergi ke Indonesia untuk melamarku."

Dengan takut-takut aku bertanya, "Mind to explain it?"

"Eh, you gotta wait for my turn again." katanya sambil menaikkan pundaknya sekilas. Matanya seakan menatap seluruh isi ruangan kecuali aku, yang berada tepat di depannya.

"Okay," kataku, membalas sekenanya.

"Hmm I'm afraid that I've already know the answer, but.." Ladislas menggantungkan kalimatnya dan bergeser mendekatiku. Ia akhirnya melanjutkan kalimatnya kembali, melengkapi kalimat yang sudah kunanti-nantikan dari tadi, "What is your name?"

Aku akan berbohong kalau kubilang aku belum menyiapkan mental untuk menjawabnya. Dua kata itu lalu keluar pelan keluar dari bibirku.

"Marina Anastasia."

Ia hanya tersenyum lemah.

Ladislas Domange hanya tersenyum lemah.

Ia sudah tau kalau aku, yang duduk bersila di depannya, dengan rambut berantakan dan bibir bergetar adalah cinta pertamanya.

Dan diluar dugaanku, Ladislas malah bergeser mendekat sampai kedua lutut kita bersentuhan. Dimajukannya wajahnya dan tangan kanannya tiba-tiba berada di pipi kiriku

"I've been wondering how does this plump lips taste like since the first time I saw your picture on that goddamn Tinder." katanya. Suaranya menjadi sebuah bisikan dan lembut setengah mati, bisa kurasakan aku meleleh dalam sentuhannya.

"But its my turn." bisikku kembali. Kutatap lurus mata indahnya.

"Truth or dare?" Ladislas bertanya tanpa merubah posisinya.

Aku tersenyum lemah dan berkata, "Since when did we play truth or dare?"

"Well, its my turn to ask you question. You have to choose."

"Fine," kuhela nafasku dengan perlahan dan melanjutkannya, "Dare."

Ada hening sesaat setelah kuucap jawabanku. Sampai kata-kata itu meluncur keluar dari bibir Ladislas.

"Let me kiss you."

Kelopak mataku mengerjap beberapa kali, sebelum kurasakan bibirnya berada di bibirku. Lembut dengan sisa rasa bir yang masih melekat. Jemarinya sudah berpindah ke daguku, mencoba menarik dan membimbing wajahku.

Semua terasa benar dan indah sampai sebuah suara menjengkelkan keluar dari saku jaket Ladislas yang tergeletak di lantai. Suara itulah yang membuat Ladislas langsung menarik wajahnya dan menatap mataku seakan mencoba mengatakan permintaan maaf.

Ia lalu menarik jaketnya dan sebuah benda kotak kecil berwarna putih pun terjatuh dari sakunya. Di layarnya tertera nama pemanggil. Aku sempat melihatnya, walaupun Ladislas dengan buru-buru menyambarnya.

Itu pacarnya yang menelpon.

Foto dalam kontaknya lah yang meyakinkanku. Ladislas langsung membalikkan tubuhnya membelakangiku.

"Oui?"
"Je suis dehors."
"Avec.. uh- un ami."
"Je serai à la maison demain. Je suis trop ivre pour conduire."
"Yeah."

Aku sebenarnya sudah berhenti mendengarkan omongan Ladislas dengan pacarnya dan mulai merangkak naik ke tempat tidur. Kuusap bibirku, mencoba mengilangkan rasa bibir Ladislas, percuma saja. Rasanya tetap melekat di sana. Sampai kudengar dua kata yang ia ucapkan di telepon genggamnya.

"Je te verrai demain.."
"Je t'aime."

Dua kata itu bagai memukulku dengan telak. Aku tak ingin menjadi perusak sebuah hubungan. Tak perduli walaupun Ladislas bilang akulah cinta pertamanya, ia sudah punya orang lain yang mencintainya.

Kubalikkan badanku berbaring membelakanginya. Bisa kudengar langkahnya yang semakin mendekat ke arah tempat tidur. Ia lalu berbaring juga disampingku, dan melingkarkan lengan kanannya di pinggangku.

Dengan berat hati kusingkirkan lengannya.

"Good night."

Mungkin merelakan adalah jalan yang terbaik untuk sekarang ini. Akan kubiarkan Ladislas memiliki bahagianya sendiri. Lagipula, jalanku baru saja dimulai.

Bisa kudengar Ladislas merubah posisinya menjadi menghadap langit-langit. Ia hela nafasnya dengan berat dan membalas,

"Good night."

Kupejamkan mataku, setengah berharap bahwa esok tak pernah datang.




---------------------------------------------------
'Cause now we say good night,
from our own seperate sides.
Like brothers on a hotel bed.
---------------------------------------------------

SEPT HOMMES, SEPT NUITS.Where stories live. Discover now