※ Un → Ladislas (iii) ※

80 5 2
                                    

Aku terpaku dengan posisi yang sangat tak nyaman. Tapi aku harus bertahan dengan posisi ini jika tidak ingin ketahuan oleh Ladislas. Aku memang ingin menemuinya. Tapi tak sekarang, dan tidak dengan cara yang seperti ini juga.

"Obtenez bien bientôt, ma chérie." Aku bisa mendengar senyuman di sela-sela omongannya. Aneliese sudah menatapku dari tadi, sepertinya berusaha memberikan kode.

Aku sudah tahu, Aneliese..

"Merci, Mr. Domange." Suara Aneliese kali ini benar-benar terdengar lemah. Ia tetap menunduk menatap mataku dan wajahnya terlihat sedih.

UGH BERANIKAN DIRIMU, MARINA!

Kuhela nafas panjang dan berdiri. Masih membelakangi Ladislas

"Eh, vous n'êtes pas la mère de Aneliese?" Ladislas berkata kepadaku, masih belum melihat wajahku yang sebenarnya. Kugigit bibirku, masih bimbang apakah aku harus berbalik atau tidak.

Berbaliklah, Marina! Kau bodoh sekali.

Dengan satu sentakan, kubalikkan tubuhku menghadapnya. Ia berdiri di sana, dengan rambut pirang yang masih sama, dengan mata hijau kebiruan yang masih sama. Yang berbeda, hanyalah sebuah kacamata dengan bingkai hitam tebal yang bertengger di hidung mancungnya.

"Ladislas, its been so long" kuhela nafas panjang, setengah berharap ia takkan mengenaliku. Mata kami bertemu.

"Excuse me? Do I know you?" Ladislas mengerutkan keningnya.

Aku sempat membelalakkan mataku sebelum menjawab pertanyaannya, separuh bersyukur ia tak mengenaliku. "Eh no, you don't know me. I'm Aneliese's uh.. aunt. Yeah, I'm her auntie."

"But how do you know my name? Ah I see! Did Aneliese told you? Well, let me introduce myself in a proper way, Miss. I am Ladislas Domange, math teacher and perhaps your niece's favorite teacher. Its very nice to meet you, Aneliese's aunt." Ditambahkannya sebuah kedipan kecil kepada Aneliese yang masih terlihat lemas. Kupaksakan sebuah senyuman untuk membalasnya.

"Its nice to meet you too, Mr. Domange. Now, excuse us cause I think Aneliese need to go home and take some rest."

"Ah oui oui. Sure, Miss." Senyumnya juga tak hilang, dan oh Tuhan, senyuman itu membuat lesung pipinya terlihat. Dan lagi, oh Tuhan, membuatnya makin tampan.

"I'm so dizzy, 'auntie'. I think I can't walk.." Aneliese memberikan tekanan sedikit pada kata 'auntie' yang membuatku memelototkan mataku sedikit padanya. Percuma saja.

"Okay, we'll take the tram and I'll carry you until we're inside the tram." Kuhela nafas dengan berat. Apasih mau anak ini? aku kembali berjongkok di depannya, sembari berdoa bahwa berat Aneliese yang seorang gadis berumur 15 tahun tak lebih dari separuh berat tubuhku, "gadis" berusia 21 tahun.

Do'aku tak dikabulkan.

Ketika Aneliese naik ke punggungku, pijakanku langsung goyah. Dan hampir saja aku dan Aneliese jatuh. Melihat pemandangan menyedihkan itu, Ladislas langsung bergerak cepat. Ditangkapnya Aneliese dan dibaringkannya lagi di dipan. Aku tak kuasa menahan tawaku. Tawa itu membuat Aneliese cemberut.

"I can give you a ride, you know? I have no class anymore. I mean, its better than the tram." Ladislas menaikkan kedua pundaknya sambil menatap bergantian kearahku dan Aneliese. Wajah Aneliese langsung berubah ceria. Seperti kubilang tadi, ia terlihat seperti tidak terkena alergi.

"Yes, Mr. Domange! My 'auntie' here 's not strong enough to lift me up!" Aneliese mengangguk-anggukkan kepalanya dengan semangat.

"Okay, ma chérie. Here, hold my keys." Ladislas mengeluarkan sebuah kunci mobil dari saku jeansnya dan menyerahkannya kepadaku. Ia lalu mengangkat dan menggendong Aneliese di punggungnya. Kami lalu berjalan menuju parkiran sekolah.

Ladislas lalu menunjuk sebuah chevy malibu keluaran tahun 2013 berwarna hitam di kejauhan. Kupencet remot kuncinya agar Ladislas bisa memasukkan Aneliese ke kursi penumpang belakang. Kuserahkan lagi kunci tersebut ke Ladislas dan berputar, naik ke kursi penumpang depan. Mobil sudah menyala dan siap mengantarkanku beserta Aneliese.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Ketika Ladislas mengerem mobil tepat di depan rumah Mrs. Andezt, Aneliese langsung keluar dari mobil dengan secepat kilat. Ia lalu membuka pintu depan dengan kunci cadangan yang ku berikan di perjalanan tadi, dan lagi, buru-buru menutup pintu.

Anak ini aneh.

"Uh.. thanks for the ride, Mr. Domange." Dengan takut-takut, kutatap mata hijau kebiruan itu. Ia tersenyum. Senyum yang mengembang sempurna.

"Nah, its fine. Hmm.. pardon me, but.. Can I ask you what's your name? Cause I got this feeling that we're going to meet again. Your name with your phone number, maybe?"

Oh Tuhan, wajah itu, wajah itu kembali lagi. Senyuman miringnya muncul lagi.

"You'll find out later, then." Aku memberanikan diri untuk mengedipkan sebelah mataku kepadanya, lalu membuka pintu dan keluar dari mobil.

Ketika kucoba mendorong, pintu tersebut sama sekali tidak bergerak. Kucoba sekali lagi, nihil. Apa pintu ini macet? Kucoba lagi, tetap saja.

Sampai kudengar suara tawa Aneliese dari dalam, ia lalu berteriak, "Have fun, my lovely aunty and my favorite teacher!"

Anak ini benar-benar keterlaluan!

"Aneliese! Aneliese! ANELIESE ELIZABETH ANDEZT! OPEN THE GODDAMN DOOR!" Kucoba lagi mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga. Kudengar suara kaca mobil yang dibuka di belakangku.

"Hey, I know a good bar around here. We can go there until Mrs. Andezt's home." Ladislas menjulurkan kepalanya sedikit keluar dari mobil.

"Ugh okay fine. Looks like I'm stuck with you right now." Kuhela nafas dengan berat dan berjalan lagi menuju mobil Ladislas.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

PLEASE JANGAN JADI SILENT READER!!! Satu vote atau satu comment nggak berat kan? Kalau mau ngobrol sama aku juga oke. Aku ngga gigit kok😑

SEPT HOMMES, SEPT NUITS.Où les histoires vivent. Découvrez maintenant