※ Un → Ladislas (i) ※

220 7 5
                                    

Ketika aku terseok keluar dari bandara dan mencoba memanggil taksi, nama itu berdering di kepalaku.

Ladislas Domange.

Mr. Domange.

Dulu, ia hanyalah seorang laki-laki muda yang agak terlalu menyukai matematika dan ski. Sekarang, yah aku tak yakin. Ia bisa saja menjadi seorang teknisi, atau seorang bartender, atau bahkan seorang broker real estat yang sudah sukses.

Dia adalah yang pertama.

Yang pertama dari ketujuh pria yang ingin kutemui di Paris.

Aku berani taruhan, ia pasti masih tampan dengan rambut pirangnya. Dengan senyum lebar yang menampilkan satu set gigi putih, dengan warna matanya yang bercampur antara hijaunya hutan dan birunya langit cerah, dan dengan jemarinya yang menahan sebatang rokok yang sudah setengahnya terbakar.

Sampai sebuah suara berat dengan aksen perancis membuyarkan lamunanku.

"Mademoiselle?" Sebuah taksi sudah terparkir di depanku. Sang supir sudah keluar, mengisyaratkan apakah aku butuh bantuan dengan koperku.

"Ah. Oui!" Aku tergagap mencoba mengeluarkan kemampuan bahasa Perancisku yang tak seberapa. Ia lalu mengangkat koperku, dan aku buru-buru masuk ke dalam taksi.

"Où veux-tu aller?" Tanyanya. Aku hanya familiar dengan kata 'Où' yang berarti 'Kemana'. Aku cukup yakin ia menanyakan kemanakah aku ingin pergi.

"Pour Belleville, uh please.." aku tergagap lagi, lupa apakah bahasa Perancis untuk 'please'.

"Oui, mademoiselle."

Dan taksi itu mulai berjalan meninggalkan bandara Charles de Gaulle.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Belleville terkenal dengan street-artnya. Dengan coretan para seniman jalanan Paris di tembok-tembok toko. Tapi Belleville tak kotor dan jorok seperti kebanyakan daerah di Jakarta yang penuh dengan street-art, atau yah, di Jakarta lebih bisa disebut dengan corat-coret tak penting.

Ibu sudah menitipkanku dengan satu rekan kerjanya yang bertempat tinggal di Belleville. Di sinilah aku akan tinggal selama aku berada di Paris. Di kelilingi dengan cafè-cafè trotoar yang gemerlap dan street-art berwarna cerah.

Taksi lalu berhenti di sebuah rumah yang diapit oleh sebuah perpustakaan umum dan sebuah laundromat. Rumah bertingkat dua berwarna merah marun dengan jendela yang terisi pot bunga. Aku turun dan menyerahkan selembar uang 20 euro kepada sang supir. Ia tersenyum berterima kasih dan mengangkat koperku keluar dari bagasi.

Dengan helaan nafas panjang, aku maju dan menekan bel rumah tersebut. Beberapa detik kemudian, seorang wanita paruh baya membuka pintu.

"Salut. You must be Marina, right?" ia menyapaku sambil tersenyum. Aksen Perancisnya sama kuatnya dengan supir taksi tadi.

"Salut. Yes I am. Ca va, Mrs. Andezt?" Aku membalas senyumannya dan dengan malu-malu melangkah masuk.

"Bien. How was your flight, darling? Are you okay? Sixteen hours flight must be tiring, yeah?" Mungkin begitulah tipe Mrs. Andezt. Baru dua langkah kaki aku masuk ke dalam rumah, aku sudah diberondong oleh pertanyaan-pertanyaannya.

"It is tiring, ma'am." Yah. Apa lagi yang bisa ku katakan selain itu? Lagipula tubuhku ini kuat, aku tak pernah mengalami jetlag.

"Here, honey. I'll show you where your room is so you can go take a little rest." Ia mengisyaratkanku untuk mengikutinya menaiki tangga ke lantai dua rumah tersebut.

"Aneliese should come home by now. Ah I don't even understand what does teenagers do with their afterschool time beside going home." Mrs. Andezt tetap mengoceh sepanjang menaiki tangga. Kutebak, Aneliese pasti anak gadisnya. Langkahnya lalu terhenti di sebuah pintu berwarna coklat tua.

"Okay, Marina. This is your room. Take a little rest there. I'm going to make dinner and as soon as the dinner's ready I'll call you."

"Sure. Thanks, Mrs. Andezt." Aku mengangguk dan membuka pintu, sudah ingin sekali melemparkan tubuhku ke atas kasur empuk dengan seprai berwarna putih ketika tanganku ditarik oleh Mrs. Andezt.

"One thing again, welcome to Paris."

🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Song: Brothers on a Hotel Bed - Death Cab for Cutie (Rolling Stone Session)

SEPT HOMMES, SEPT NUITS.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang