**

Satya berdiri di samping seorang bapak yang mengenakan peci, bapak itu tengah sibuk mengipas-ngipasi panggangan sate. Lengan Satya terlipat di depan dada, matanya menatap tajam ke arah panggangan. Membuat si penjual sate merasa kurang nyaman. Grogi mungkin. Tapi dia hanya bisa sesekali menatap Satya sambil tersenyum kaku dan mengangguk pelan, dan tidak ada respon apa pun dari Satya.

"Sat! Duduk sini!" Maya menepuk-nepuk kursi kayu panjang di sebelahnya yang masih kosong. Satya tidak merespon.

Maya berpikir rasanya jadi malu-maluin bawa Satya ke tempat makan pinggir jalan. Beberapa orang yang makan di rumah tenda tersebut sibuk bisik-bisik sambil menatap atau sesekali terkekeh melihat Satya. Maya tidak yakin apa yang para remaja perempuan dan ibu-ibu itu bicarakan soal suaminya. Sepertinya mulai sekarang dia akan kehilangan beberapa fans. Karena fansnya yang ada di sini tahu betapa 'mengerikannya' dia.

"Pastikan dagingnya benar-benar matang ya, Pak. Istri saya sedang hamil. Kalau tidak matang akan banyak bakteri berbahaya yang bisa mengganggu kesehatan bayi dan istri saya."

"Iya Pak..." penjual sate hanya bisa mengiyakan. Pasrah meski merasa terganggu.

"Ah, itu, yang sebelah situ kurang matang." Satya menunjuk ke arah sebelah kiri panggangan ada daging yang terlihat masih belum matang sementara si penjual sate sudah siap-siap mengangkat satenya.

Maya mendengus gemas, sepertinya Satya merasa kalau dia sedang berada di restorannya sehingga bisa menyuruh-nyuruh si penjual sate seperti memerintah kokinya.

"Astaga, rasanya aku pengin memanggang dia sekalian!" Maya menggumam dengan nada kesal. Ibu-ibu di sebelahnya memebelalakan mata sambil menahan tawa. Maya buru-buru meminta maaf atas umpatannya dan pemandangan tidak menyenangkan yang disebabkan suaminya di warung sate ini.

Maya tak tahan lagi! Dia berdiri dan menghampiri Satya. "Duduk, yuk!" ucap Maya sambil setengah menarik lengan kanan Satya.

"Aku harus pastikan satenya...."

"Oke. Oke. Aku ngertiiii...." Maya mencubit lengan Satya berharap dia mengerti kode bahwa yang Satya lakukan agak aneh dan... memalukan. "Pak Towo ini sudah jualan sate bahkan sejak aku masih balita. Aku sering makan sama Ayah dan Ibu di sini. Kemampuan memasak satenya mungkin terhebat sejakarta, jadi nggak usah khawatir bakteri atau apa pun itu! Dia itu tukang sate pro-fe-sio-nal!" Maya menekan di kata terakhir. Satya hanya menatapnya sekilas tak tertarik menyimak penjelasan Maya.

Pak Towo merasa sedikit tersanjung dan perasaannya membaik karena pujian dari Maya.

"Nggak apa-apa Non. Suami Non ini sayang sekali sama Non Maya. Jadi dia khawatir."

"Aku kangen banget pengin makan sate Pak Towo." Maya mencoba mencairkan suasana. Yang entah mengapa antara Satya dan Pak Towo seperti ada dinding es yang siap-siap runtuh tadi.

"Iya ya Non. Sudah lama tidak ke sini, tiba-tiba ke sini lagi sudah menikah dan hamil ya. Selamat ya Non." ucap Pak Towo sambil semakin semangat mengipasi satenya.

"Iya, sejak menikah aku udah nggak pernah ke sini." Maya tersenyum ramah.

Satya yang merasa diabaikan karena Maya justru asyik mengobrol dengan si penjual Sate memutuskan duduk di kursi sambil wajahnya masih cemberut.

Maya mendekatkan tubuhnya ke arah Pak Towo dengan suara setengah berbisik, "Maafin suami saya ya Pak. Dia memang gitu. Tolong jangan tersinggung."

"Ah, nggak masalah Non. Saya justru merasa tersanjung ada koki terkenal makan di sini. Kalau istri saya tahu pasti dia minta foto bareng. Haha...."

Selamat Datang CintaDär berättelser lever. Upptäck nu