Seseorang di Suatu Waktu

Mulai dari awal
                                    

Dan begitu sampai, Laudya cukup terkejut. Spot ini lebih cocok disebut restoran. Ada banyak makanan lengkap dengan koki dan pelayan. Tempat menyantap makanan disatukan dengan dapur sehingga penumpang bisa memesan langsung.

Dari sini Laudya bisa menatap beberapa orang. Penumpang yang asyik makan sambil berbincang, para koki yang sibuk dengan masakannya, dan beberapa anak yang tak bisa diam. Kebetulan mereka sedang pesan es krim. Ibunya sampai kewalahan mengingatkan kalau mereka terlalu berisik.

"Mau makan apa?" tanya Ayyash ketika Laudya sudah duduk. "Jangan bilang terserah!"

"Nasi goreng." Dari tadi Laudya memang ingin makan itu. Yang ada potongan udangnya. Kalau bisa telurnya jangan diarik. Ditambah racikan rempah, sepertinya akan nikmat. Ah, sekarang Laudya sadar kalau nasi goreng ini adalah ngidamnya yang pertama.

Ayyash malah mengangkat tangan. Seperti yang dilakukan penumpang lain kalau mau memesan.

"Loh, bukan Ayyash yang masak?"

"Sekarang waktunya aku istirahat."

Yah, padahal dari tadi Laudya ngiler kepengin makanan dari tangan ajaib Ayyash. Kalau ia bilang ngidam, kira-kira Ayyash mau menurut tidak, ya? Eh tapi, kasihan Ayyash, pasti kelelahan. Lagi pula si badan selembar ini masih kurang sehat. Keterlaluan sekali Laudya kalau menyuruhnya masak.

"Wowowow, siapa nih, Yash?" Pemuda yang memakai seragam seperti Ayyash menatap Laudya dengan kerlingan nakal.

"Teman," jawab Ayyash sambil melepas topi kokinya. "Nasi goreng udang dua, jus jambu klutuknya dua."

"Mbak ini beneran temannya Ayyash?" rekan Ayyash bertanya pada Laudya. Berlagak seakan-akan pesanan Ayyash cuma angin lalu. "Kenalin, saya Egi. Temannya juga."

Laudya menyambut sodoran tangan Egi, lalu mengenalkan diri dengan sopan.

"Ketemu di mana, Yash? Si Desti tahu, nggak?"

Ayyash menyikut perut Egi. "Nasi goreng udang dua, jus jambunya dua," ulangnya dengan mata memelotot. Sebenarnya tidak menyeramkan pelototan Ayyash. Toh, ia ini sipit. Orang-orang dengan mata seperti itu malah dikira melitit.

"Desti siapa, sih?" tanpa merasa sungkan, Laudya bertanya ketika Egi pergi. Ia yakin hubungannya dengan Ayyash buka lagi dua orang yang saling asing.

"Teman."

"Teman apa teman?"

"Teman!"

Duh, judesnya! Sikapnya yang selalu ketus seakan-akan berkembang berkali lipat. Siapa sebenarnya Desti? Kenapa muka Ayyash jadi begitu kesal ketika Egi menyebutkan?

"Tiga hari yang lalu Desta telepon gue, Yash." Egi tiba-tiba berujar. Lengkap dengan pesanan yang dibawanya. "Nanyain lo terus. Lo nggak telepon dia?"

"Nggak."

Mendengar jawaban ketus Ayyash, Egi tak langsung pergi, malah duduk di sebelah Laudya. "Bukan karena Laudya, kan, lo nggak nelepon dia?"

Ayyash menggeleng.

"Terus gimana masalah kalian? Sudah kelar?" Egi terus saja bertanya padahal siapa pun tahu kalau muka Ayyash sudah tak enak dilihat. "Yash, jangan diam saja!"

"Egi, maaf," Laudya menyanggah. "Ayyash lagi sakit, jadi dia diam terus."

"Ayyash memang suka diam," Egi masih cincong. "Mulutnya ketukar moncong sapi waktu bikin rujak cingur."

Tanpa menanggapi kelakar Egi, Ayyash asyik menyantap nasi gorengnya. Kemudian Egi dipanggil kepala koki lantas ia pun beringsut. Tersisalah Ayyash dan Laudya. Juga ketenangan.

"Apa? Mau tanya Desta juga?" Ayyash berujar ketika Laudya hendak membuka mulut. "Desta dan Desti orang yang sama. Laki-laki."

*
*
*

"Ya, ampun! Muka kamu kenapa, Ay?" Perempuan di hadapan Ayyash memekik histeris. Ia langsung memegang wajah Ayyash lalu memelototinya.

Ayyash meluruskan punggung, lalu menjauhkan tangan yang memegang wajahnya.

"Jawab Mbak, Ay!" kata perempuan itu lagi. Kali ini suaranya lebih keras. Toko kuenya yang sedang ramai mendadak senyap. Beberapa pembeli bahkan menoleh.

"Dipukul orang. Salah paham. Sekarang sudah baikan." Ayyash akhirnya menjawab. Singkat, padat, jelas, dan mampu menyihir suasana ke keadaan awal. "Oh, iya, Mbak, kenalin ini teman Ayyash dari Jakarta. Nam ... "

"Angel?" Shofi membelalak ketika menyadari cewek di sebelah Ayyash. Tampaknya ia suka sekali berekspresi seperti ini. Mulut menganga dan mata melebar.

"Mbak, Angel siapa?" tanya Ayyash teheran-heran.

"Ini Angel." Shofi menunjuk Laudya yang mengerutkan kening. "Angel alias malaikat. Dia yang nolong Mbak waktu itu, Ay!"

Ayyash melirik Laudya tapi perempuan ini balik menatap heran.

"Kamu lupa sama saya?" tuduh Shofi pada akhirnya. "Oke, oke, kamu pasti lupa. Tapi saya ingat kamu. Kamu yang nolong saya di jembatan."

Masih tak ada perubahan dari raut Laudya.

"Kalau apel? Waktu saya tersedak apel di jembatan. Kamu yang nolong saya, kan?"

Kerutan Laudya memudar. Tapi hanya sedikit. Ia masih berusaha mengingat. Tersedak apel di jembatan? Aduh, yang mana, ya? Memangnya Laudya pernah ke jembat ...

Aha! Sekarang Laudya ingat! Waktu ia hendak bunuh diri. Rencana pertama gagal karena seseorang membutuhkan bantuan. Iya! Laudya ingat sekarang. Perempuan muda yang tersedak!

Tapi, benarkah wanita itu adalah Mbak Shofi? Kakaknya Ayyash.

"Ya ampun, nggak nyangka bisa ketemu di sini. Teman Ayyash pula." Shofi langsung memeluk Laudya dengan erat. Lima detik berlalu ia lantas melepas dan berkata, "Nama saya Shofi Sinta Elisafan. Panggil saja Mbak Shofi."

"Saya Laudya, Mbak. Panggil saja Dya."

Shofi tersenyum cerah lalu memeluk Laudya lagi.

Betapa sempitnya dunia ini! batin Ayyash. Pahlawan yang pernah diceritakanmbaknya ternyata Laudya. Ini awal yang baik! Keputusannya membawa Laudya ternyata tak terlalu salah. Kakaknya pasti tak akan keberatan untuk ditumpangi Laudya beberapa waktu.

-bersambung

FilantropiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang