11. Sahabat Yang Selalu Ada

116K 8.9K 623
                                    

REPOST

Andra hanya bisa terdiam saat punggung gadis itu menjauh darinya. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mencegah Nou pergi karena ia tahu Nou butuh untuk pergi.

Mungkin mereka adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang seharusnya bisa ia cegah. Ya, seharusnya Andra tetap pada prinsipnya untuk tidak mencoba lagi sebuah hubungan baru dengan seorang wanita. Tidak ada wanita yang bisa tahan dengan lelaki gagal move on seperti dirinya.

Namun mengapa sakit sekali rasanya? Seolah ada bagian dari dirinya yang terenggut saat melihat Nou menjauh.

Apa sebenarnya perasaan ini? Rasa sakit ini bukan rasa yang familiar ia rasakan jika mengingat Rena. Rasanya berbeda, dan ini lebih sakit. Seolah Andra ingin berlari padanya dan memeluknya erat agar dirinya tidak pergi.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada kalian? Sedetik kalian mesra, detik berikutnya kalian bertengkar. Aku heran dengan kalian berdua," sela Gab tiba-tiba memutus lamunan Andra.

Andra mengangkat bahu dan memilih meninggalkannya.

"Jenandra! Aku bicara padamu!" Teriak Gab sebal.

Andra menoleh dan terkekeh melihatnya cemberut. "Kita di sini untuk menemani Juna yang patah hati, bukan untuk mengurusi kehidupan pribadiku."

Gab mencibir. "Kau juga patah hati 'kan?"

"Aku tidak patah hati!" Teriak Andra dan Juna bersamaan. Entah dari mana anak itu muncul.

Andra mencibir pada Juna yang menjulurkan lidahnya. Kadang mereka bertingkah seperti anak kecil jika sedang berkumpul seperti ini.

Bertingkah konyol bersama sahabat bisa menjadi obat stress yang ampuh, dan ia bersyukur memiliki sahabat yang selalu ada seperti mereka. Happiness is having a good laugh about silly things.

"Terserah kalian! Aku malas!" Andra meninggalkan mereka dan beranjak pergi menuju kamar yang sudah disiapkan oleh nenek Juna untuk mereka.

Andra berbaring di kasur dan menerawang memandang langit yang mulai menggelap. Kenapa ia menjadi secengeng ini?

Juna masuk tanpa mengetuk pintu kamar dan duduk di pinggir ranjang. Ia menyerahkan sekaleng coke dingin. Andra bangkit dan meraihnya.

"Tidak usah malu untuk mengakui perasaanmu. Nanti kau akan menyesal seperti aku."

Andra menoleh dan mencibir. "Kau saja tidak mau mengakui kalau kau patah hati!"

Juna tertawa pelan. "Aku memang tidak patah hati. Aku merasakan lebih dari itu. Aku hancur."

Andra bisa melihat kilat kesedihan itu di mata Juna. Juna tidak pernah seperti ini sebelumnya.

"Aku tahu yang kau rasakan pada Rena berbeda dengan yang kau rasakan pada gadis tadi."

"Aku sendiri tidak tahu apa yang kurasakan pada Nou."

"Bodoh!" Katanya sambil memukul kepala Andra, "kau sudah jatuh cinta padanya, idiot!"

Andra berdiri dan memandang pekatnya langit malam di luar sana. "Aku belum bisa melupakan Rena."

"Itu karena kau merasa bersalah padanya! Hidupmu selama ini dipenuhi perasaan bersalah. Kau merasa bertanggung jawab atas kematian Rena! Dan ingatlah, itu bukan cinta. Cintamu bukan milik Rena lagi. Pikirkan itu," Juna menepuk bahunya pelan dan meninggalkannya sendirian.

Ia kembali memandang gelapnya malam seraya memikirkan perkataan Juna.

Memang, selama ini yang ia rasakan pada Rena adalah semacam beban. Beban karena ia tidak bisa menghindari kecelakaan itu. Beban karena ia tidak bisa menyelamatkan hidup Rena. Beban karena menyebabkan satu orangtua kehilangan anak gadisnya. Beban karena menyebabkan seorang kakak kehilangan adik perempuan satu-satunya.

My Doctor, My Love (Tersedia Cetak Dan Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang