Adam yang Berbeda

Start from the beginning
                                    

"Oh, itu? Berkasnya saya simpan di tempat aman. Ayyash tunggu sebentar, ya."

Cepat-cepat Laudya masuk ke kamar sebelah dan kembali kurang dari satu menit. Ketika sampai, ia tak langsung mendekati. Malah terperanjat. Aduh, Ayyash terluka! Jarinya tersayat saat berusaha membersihkan kepingan vas. Kasihan ia.

Langsung saja Laudya berlari ke sudut lain. Tepatnya ke toilet, mengambil segayung air lengkap dengan obat antiseptik dan plester. Ia bergegas mendekati Ayyash yang jarinya makin memuntahkan banyak darah.

Saat Laudya hendak meraih jari Ayyash, pemuda bermata sipit ini menepis. Ia juga menjauhkan jarinya.

"Biar saya obati," ucap Laudya mencoba sabar. Kejanggalan yang diingatnya makin mendekati poin kebenaran. Adam ini berbeda.

"Saya bisa sendiri."

Molekul eritrosit terjun. Tertarik gravitasi dan mendarat di lantai. Makin banyak, makin tak terkendali. Merah pekatnya menodai ubin dan pecahan vas.

"Saya cuma mau bantu kamu." Laudya menegaskan. Ia menarik tangan kurus berkulit kasar itu dengan paksa lalu mengobati lukanya.

"Ssh ... " Ayyash meringis kecil manakala molekul air menciumi lukanya.

"Tahan, ya. Tahan." Laudya menciumkan kapas berantiseptik ke goresan yang melukiskan luka Ayyash. Bulu kuduknya berdiri manakala darahnya tak berhenti mengalir. "Sebentar lagi, Ayyash. Tahan." Setelah dirasa pergerakan cairan merah itu agak melambat, cepat-cepat Laudya membalutkan plester.

Dan sebagai sentuhan terakhir, Laudya mengecup jari tersebut. Ups! Laudya kelepasan. Ia memang biasa mengecup jari seseorang yang diobatinya.

*
*
*

Hampir lima belas jam Laudya tak beranjak dari kamar. Kedatangan Ayyash dan sikap meyebalkan itulah yang menjadi alasan. Kemarin Laudya cuma kelepasan mengecup jarinya, tapi pria itu menganggap hal tersebut adalah pelecehan.

"Lain kali jangan begitu!" Begitu katanya. Seperti biasa, ketus dan menunjukkan kebencian. Padahal Laudya sudah minta maaf dan menjelaskan kalau ia refleks. Tapi Ayyash malah langsung pergi dan tak pulang semalaman.

Kata Dion, Ayyash orang baik. Baik dari mana coba? Tidak ramah, tak pernah senyum, dan selalu bicara dengan nada tak suka. Laudya jadi tak nyaman. Padahal sebelum Ayyash pulang, rumah ini seperti surga.

Saat Laudya masih asyik melamun, tiba-tiba suara yang bermuara di perutnya menginterupsi. Waduh, si cacing sudah memberi kode. Pikirnya dalam hati. Laudya memang belum makan dari kemarin sore. Dan kalau tak salah, di dapur masih ada mi instan.

Cepat-cepat ia beringsut. Dalam hati berdoa, semoga pemilik rumah bertubuh selembar itu belum pulang.

Dan doa tersebut langsung dijawab Yang Maha Esa. Ayyash ada di sana. Di hadapan pantri. Ia memakai celemek dan tak menyadari kehadiran Laudya, karena sedang asyik memasak. Diulangi, ya. ME-MA-SAK!

Bukannya langsung pergi, Laudya malah diam di tempat. Ia terpukau. Ayyash kelihatan sangat lihai, mengiris bawang dan tomat dengan telaten. Potongannya berseni bahkan lebih baik dari wanita pada umumnya. Dan lihatlah sorot matanya sekarang! Laudya sampai tak memercayai dirinya sendiri kalau pria itu adalah Ayyash.

Tatapan Ayyash begitu fokus pada kaleng yang sedang dibuka. Gerakannya sangat gesit dan racikannya pasti tak sia-sia. Terbukti dengan aroma bawang yang menguar di seluruh dapur. Ditambah gesekan wajan dan spatula yang nyaringnya profesional, serta gerakan tangan Ayyash yang gesit, lengkap sudah kenapa Laudya tak mau beranjak.

"Sudah bangun?"

Laudya mendadak salah tingkah. Aduh, ia keasyikan sampai-sampai tak sadar kalau akrobatik Ayyash sudah selesai.

"Saya buat sarden. Mari makan sama-sama."

Ayyash menggantungkan celemek lalu membawa hidangan melewati Laudya, membuat wanita ini makin takjub. Sarden katanya? Waduh, perut Laudya makin mengerut. Lebih-lebih barusan Laudya sempat melirik masakan tersebut. Yang mana daging ikannya begitu tebal, saus tomatnya tampak berkilauan, dan aromanya begitu menggoda.

"Kapan Ayyash pulang?" Laudya membuka percakapan setelah bokongnya mendarat di kursi. Meski ragu——mengingat sikap Ayyash kemarin——ia tetap mengajaknya bicara.

"Tadi subuh." Ayyash menuangkan potongan ikan di atas nasi hangat. Kepulan asap dan saus tomatnya sontak membuat Laudya nyaris ileran. Dan mau tahu apa lagi yang hebat? Yang Ayyash tuangkan ternyata untuk Laudya. Ia memberikan dengan gelagat sopan!

"Makasih."

Ayyash tak membalas apa-apa dari ucapan Laudya. Jangankan senyum, bilang sama-sama saja tidak.

"Adakah yang kurang dari rumah ini?" tanya Ayyash sambil menyendok nasi. "Listriknyakah? Gas? Air? Selama kamu di sini, adakah yang kurang?"

"Semuanya dalam kondisi baik."

"Syukurlah," katanya lagi. "Kalau ada yang kurang, bilang saja."

Laudya mengangguk seakan-akan mengerti. Ia menyendok nasi dan potongan sarden lalu memasukan ke mulut. Masya Allah! Enak banget! Laudya benar-benar jatuh di dunia sarden. Rasa yang ditawarkan masakan ini sangat luar biasa. Gurihnya ikan berpadu dengan asam dari saus tomat. Belum lagi aroma dan sentuhan rempahnya juga sangat pas. Pecah sudah kekesalan Laudya pada Ayyash soal sikapnya kemarin.

"Ayyash ...." Laudya memanggil, tentu setelah mengatur napas, menyiapkan nada bicara, dan memperkuat batin jika Ayyash mengabaikannya. "Kenapa sikap kamu berubah?"

"Maksudnya?"

"Kemarin kamu kelihatan jijik sama saya. Tapi pagi ini, sikap kamu lain."

Ayyash tak langsung menjawab. Ia meneguk air minum terlebih dahulu. "Saya berbeda," katanya sambil memotong ikan berlumur saus lalu melahapnya. "Saya anggap semua perempuan sebagai makhluk menjijikan."

"Apa?"

"Semua kecuali kakak saya." Melihat Laudya memelotot Ayyash langsung menambahkan, "Dan kamu."

"Ayyash, apa kamu seorang gay?" Merasa kejanggalan kemarin makin jelas, maka Laudya menanyakannya. Tanpa ba-bi-bu.

"Anggap saja begitu," jawab Ayyash. "Oh iya, gimana sardennya?"

"Enak."

"Dion bilang kamu jarang makan sarden. Suami kamu yang larang?"

Laudya menggaruk pelipis. Tak tahu sedekat apa Dion dengan Ayyash. Tapi semoga saja tak menyalahi aturan. Bagaimanapun, Dion masih normal. Ia mencintai gadis. Dari gerik dan tatapannya, Dion sangat berbeda dengan Ayyash. Kalau Laudya pakai busana seksi, mata Dion sering nakal. Beda dengan tatapan Ayyash.

"Inikah alasan kamu kabur dari suami kamu?" tanya Ayyash. Nadanya tidak penasaran. Tidak juga peduli.

"Saya kabur karena saya nggak tahan. Dia terlalu sempurna."

Hampir muncrat air di mulut Ayyash ketika Laudya mengatakannya. "Pasangan kamu sempurna tapi kamu memutuskan untuk pergi?"

"Coba kamu bayangin! Setiap detik, pasangan kamu harus tahu kamu di mana, sama siapa, dan sedang apa. Kalau belanja, harus di swalayan yang kasirnya perempuan. Kalau sakit dokternya harus yang sudah sepuh. Penjual batagor, tukang sayur, sampai supir dicurigai. Ada penelepon yang salah sambung membuat kamu diinterogasi ini itu. Terus, kalau ada SMS dari operator, harus dibaca di hadapannya. Dia bilang hafal mana yang beneran dari operator, mana yang akal-akalan.

"Oh iya, kamu hanya boleh masak apa-apa yang dianjurkan dokter gizi. Batagor, pizza, hamburger, gorengan, mi instan, dan es krim adalah haram."

Laudya yakin kalau Ayyash pasti tertawa. Bahkan ngakak guling-guling. Tapi ternya tatidak! Ayyash hanya menatap sambil mengunyah sarden. Itu pun dengan sorotan khasnya. Sayu dan seperti tak punya harapan.

-bersambung

FilantropiWhere stories live. Discover now