Ketika ia tak menemukan Chanyeol, ia menyelipkan diri di antara Jongdae dan Minseok di meja tim sepak bola, di seberang Woohyun yang sudah setengah pulih, dan Sehun yang menyembunyikan kepala di lengannya yang terlipat.

"Ada apa dengannya?" tanya Baekhyun pada Jongdae.

"Baru menyatakan perasaan pada Luhan," jawab Jongdae berbisik. "Tidak berjalan mulus."

"Tidak adil!" raung Sehun, "Luhan hanya menyukai Chanyeol dan tidak memperhatikanku sama sekali! Padahal aku sudah menunjukkan perhatianku padanya! Pikirnya dia itu siapa, Hyung, hanya cowok paling menawan, sempurna, dan cantik di sekolah, dan dia... dia... dia menolakku!"

"Ya Tuhan," keluh Baekhyun, memindahkan nampannya dari dekat Sehun saat anak itu mulai membuang ingus dengan tisu. "Kau terdengar menyebalkan." Ngomong-ngomong soal Chanyeol, Baekhyun mendapatinya menjulang tinggi bagai ibu jari bengkak saat ia memasuki kantin. Beberapa orang langsung mengenalinya, mereka menertawakan plat namanya dan ekspresi bodohnya saat mengantri makan siang. Beberapa orang gadis menyerobot begitu saja di depannya dan Chanyeol cukup patuh untuk mundur sehingga teman-teman gadis itu bisa masuk dalam antrian juga. Baekhyun hampir berdiri, tapi ia hanya mengawasi selagi Chanyeol sudah mendapatkan nampan makanannya dan berjalan menuju meja yang terkucilkan untuk duduk bersama seorang anak autis lain. Chanyeol bahkan sama sekali tidak mencarinya.

"Hei, kau mau ke mana?" tanya Jongin saat Baekhyun beranjak duduk di sebelah Chanyeol. Semua orang memandanginya saat ia duduk di samping saudaranya dan memindahkan kecambahnya ke nampan Chanyeol dalam diam.

Jongin datang berikutnya dan duduk di sisi Chanyeol yang satunya dengan senyum lebar seperti biasa di wajahnya. "Pantas saja tubuhmu tinggi, kau makan benda menjijikkan ini, sih," ucap Jongin sambil tertawa, menunjuk kecambah di nampan Chanyeol dengan sumpitnya, lalu dengan santai menaruh sosis di situ. "Makanlah ini lebih banyak. Daging bagus untukmu."

Satu per satu, anak-anak tim sepak bola yang lain pindah hingga tak seorang pun menempati meja yang nyaman itu. Mereka bahkan duduk dengan bocah autis, Jinki, di tengah-tengah mereka. Jam makan siang pun berlanjut seperti biasanya. Saat bel berbunyi, para siswa di kantin pun berpencar, dan Baekhyun mengantar Chanyeol ke kelas tepat pada waktunya untuk melihat seorang teman sekelas mengajak bicara Chanyeol dengan senyum ramah.

Tepat setelah jam keempat adalah acara penyerahan penghargaan, jadi semua anak kelas tiga digiring ke gedung olahraga dan didudukkan di bangku penonton. Kepala sekolah membuka acara dengan iringan nyanyian mars sekolah dan pengumuman singkat bahwa turnamen sepak bola akan diundur sampai tanggal tertentu disebabkan hal yang mereka sebut "masalah kecil." Mereka juga bicara tentang prosedur kelulusan sebelum berlanjut ke acara sebenarnya, yaitu pembagian penghargaan kepada murid-murid yang berprestasi di bermacam-macam bidang.

Beberapa dari mereka mendapat trofi dan medali atas prestasi mereka di bidang akademik, ekstra kurikuler, maupun pelayanan sosial. Kemudian, ada daftar murid-murid kehormatan yang akan menerima beasiswa dari universitas-universitas menurut peringkat mereka. Biasanya Baekhyun masuk peringkat tiga besar, dengan Luhan selalu menjadi runner-up.

Sehun, yang matanya masih sembab habis menangis sewaktu makan siang, mendapat penghargaan untuk jumlah kehadiran sempurna. Jongin mendapat penghargaan pertama dalam hidupnya, yaitu dalam lomba matematika (Baekhyun bahkan tidak mengira Jongin bisa menambah atau mengurangi).

Setelah penghargaan kecil selesai dibagikan, Kepala Sekolah berjalan naik ke podium membawa sebuah gulungan kertas yang familier, daftar nama murid-murid kehormatan. Suasana gedung amat tenang ketika beliau menghitung mundur dari angka sepuluh, lalu berhenti di angka dua dengan napas tertahan.

"Murid kehormatan peringkat dua kita tahun 2012 yaitu... Luhan. Murid kehormatan peringkat pertama adalah Byun Baekhyun. Selamat untuk kalian."

Kesepuluh murid kehormatan pun naik ke podium untuk menerima penghargaan dan sertifikat mereka, sementara ruangan itu dipenuhi sorak sorai dan tepuk tangan. Luhan mengucapkan terima kasih kepada orang tua, guru, serta teman-temannya lalu kembali ke barisan siswa kehormatan disertai teriakan para gadis yang bagaikan teriakan fans-fans gila dalam sebuah konser.

Ketika Baekhyun naik ke podium, ia harus mengatur mikrofonnya agar sesuai dengan tinggi badannya. Ia mengetuknya sekali, lalu memandang ke arah lautan manusia yang sedang menatap balik dirinya. Ia bukan tipe public speaker, makanya ia tidak tahu harus berkata apa karena yang ingin disampaikannya sudah ia ucapkan di tahun-tahun sebelumnya, kerap kali diulanginya hal bodoh itu, dan ia tidak mau repot-repot harus berpidato lagi.

Kemudian, ia pun teringat akan Chanyeol, perutnya bergolak memikirkan bahwa ia akan membicarakannya di hadapan orang banyak.

"Um..." Dia berkata, sesuatu di tenggorokannya membuatnya mual, "Pertama-tama, terima kasih atas penghargaan ini... Kalian tahu... um... Banyak orang bertanya apakah aku selalu pandai sejak kecil, seolah-olah kepandaian adalah hal yang kita miliki sejak lahir. Aku sangat bodoh saat masih kecil. Aku tidak bercanda!"

Para hadirin pun tertawa.

"Aku tidak bisa menghitung dua tambah dua, bahkan tidak bisa menulis nama sendiri... Tapi aku punya seorang sahabat cerdas yang mengajariku semuanya saat guru-guruku berpikir bahwa aku tidak ada harapan dan terbelakang. Yah, sayangnya si bodoh Baekhyun membuat kesalahan besar suatu hari dan mendorong sahabatnya itu ke depan mobil yang melaju," tenggorokannya mengering dan tangannya semakin erat menggenggam mic, "sahabatku itu adalah... saudara tiri... bukan, saudaraku, Park Chanyeol. Dia tidak terlahir dengan keterbelakangan mental; dia... adalah orang paling cerdas yang pernah ku kenal." Ia harus berhenti sejenak untuk mengambil nafas saat pandangannya mulai mengabur karena air mata. "Chanyeol... Chanyeol menyukai sekolah. Tidak peduli seberapa buruk murid lain memperlakukannya, dia selalu bangun paling awal tiap pagi karena dia ingin belajar. Namun, kemarin malam, aku menemukan sebuah catatan bahwa dia diberhentikan dari sekolah karena dia terlalu bodoh, terlalu tidak berpendidikan, dan terlalu terbelakang untuk sekolah. Aku... yakin bahwa saudaraku berhak untuk belajar di sini karena dia telah mengajarkan hal-hal yang tidak aku dapatkan di sini, tentang kebaikan hati, toleransi, kesabaran, kasih, dan sayang. Saudaraku, dengan IQ 65, telah mengajariku, seorang murid kehormatan juga kapten tim sepak bola, hal-hal yang lebih berharga dari sekedar trofi dan sertifikat. Aku mengutarakan hal ini sekarang, di atas panggung, karena orang-orang kecil seperti Chanyeol tidak memiliki suara. Sementara seorang murid kehormatan dan kapten tim sepak bola punya, tapi kali ini aku berbicara mewakili saudaraku."

"Dia cinta sekolah. Sekolah harus mencintainya juga."

Yang Baekhyun tahu setelah ia turun panggung dengan hati bergetar yaitu para dewan pengurus sekolah yang kepanikan karena tiba-tiba semuanya beralih memihak Chanyeol.

Baekhyun berhenti menghiraukan apa yang akan dikatakan orang-orang itu, jadi begitu sekolah selesai, ia mengajak Chanyeol keluar ke lapangan sepak bola. Memar di kakinya sudah semakin pulih, jadi tidak begitu sakit lagi.

Chanyeol dulu yang memulai percakapan saat Baekhyun menaruh bola di atas rumput.

"Baekhyun... membicarakan aku..." Dia tersipu-sipu sambil memasukkan tangannya ke dalam saku blazer-nya.

"Ya," balas Baekhyun, berusaha tertawa santai. "Memang begitu."

Mereka berdua tidak banyak bicara setelah percakapan singkat namun sarat makna itu. Mereka bermain sepak bola layaknya dilakukan anak biasa sepulang sekolah, dengan Baekhyun mengajari Chanyeol berbagai macam teknik menggiring. Keduanya tergelincir ke tanah hingga berlumuran lumpur, tapi hal itu tidak menghentikan mereka untuk menyelesaikan pertandingan mereka. Chanyeol selalu berhenti tiap kali Baekhyun jatuh, dan Baekhyun akan berpura-pura kesakitan sebelum mencuri bola dari Chanyeol; tipuan klasik.

Bahkan saat Baekhyun memasukkan bola di gawang Chanyeol, Chanyeol berteriak gembira dan mengangkat Baekhyun ke udara sambil berseru, "Kau berhasil! Kau berhasil!" sekeras-kerasnya.

Baekhyun tidak dapat mengingat kapan terakhir kali ia merasa bahagia sejak ayahnya membelikan sepasang sepatu sepak bola pertamanya, tapi ini... ini lebih berharga daripada momen itu.

Di penghujung hari ketika matahari telah menghilang dan langit bagaikan sebuah lukisan cemerlang akan merah, kuning, jingga dan ungu yang indah, ia mengapit bola sepak di bawah lengannya dan berjalan pulang bersama Chanyeol.

Tidak makan waktu lama bagi mereka untuk melewati toko hewan, kantor polisi, dan supermarket ketika mereka melihat toko bunga mereka ditutupi papan kayu dan dirantai, di sana ada sebuah tanda bertuliskan "DIJUAL" dengan tinta merah terang.

.

.

Baby's BreathWhere stories live. Discover now