1.1

15.8K 717 40
                                    


Nana melirik cemas ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Gadis 17 tahun ini mendecakkan lidahnya dengan tak sabar sambil memanjangkan lehernya, ke arah jalanan di depan rumahnya. Jalanan seluas dua mobil itu cukup ramai dilewati berbagai sepeda motor dan sepeda yang dinaiki para pelajar. Maklum, 15 menit dari perumahan ini ada sebuah sekolah yang cukup terkenal bernama Masehi. Cewek berponi rata yang baru masuk ke bangku kelas dua belas ini juga menuntut ilmu di sekolah yang memiliki jenjang pendidikan mulai dari SD sampai SMA itu.

Cewek kurus ini sekarang mendecak. Kejengkelan jelas terlihat di wajahnya. Jika ia tidak berangkat sekarang, ia akan terlambat masuk ke kelas. Seumur-umur, ia tidak pernah terlambat sekolah, kecuali saat ia menginap di rumah Gina­−temannya sejak sama-sama memakai popok−dan harus berangkat bersama temannya itu. Kenangan yang menyeruak tiba-tiba itu membuatnya menyesali keputusannya menerima tawaran Gina kemarin siang yang mengatakan akan sampai di depan pagar rumahnya tepat pukul setengah tujuh pagi.

Nana merogoh kantong rok abu-abunya yang sudah beberapa kali kena tegur karena terlalu pendek. Berkali-kali ia menjelaskan pada gurunya kalau ia 'tumbuh tinggi', bukannya 'mempermak' rok itu tapi sepertinya tak ada yang percaya kalau ia bertumbuh hampir 15 cm dan sudah tiga kali mengganti roknya. Nana tertegun sejenak. Matanya yang menyempit di sudut seperti mata kucing itu mengedip beberapa kali saat menyadari kantongnya kosong. Ia pun mengembuskan napas, teringat handphone miliknya satu-satunya sedang rusak dan belum sempat ia perbaiki. Tak ingin menunggu lagi, Nana mendorong pagar rumahnya, tepat saat pintu itu mengayun terbuka.

"Untung belum berangkat," wanita setengah baya yang masih memakai daster bercorak bunga berwarna kuning itu terlihat lega sekali. Di tangan kanannya ia membawa sebuah kotak transparan berukuran sedang. Sekitar selusin donat bertabur gula putih terlihat berdesakan di dalam kotak itu.

Nana mengernyit ketika ibunya menyerahkan kotak transparan itu padanya. "Kan udah dibilang nggak usah," ucapnya, dengan enggan menerima kotak itu.

"Tadi Mama udah cepet-cepet bikin. Agak berantakan sih, tapi rasanya tetep enak, kok. Nih, Nana mau coba dulu?" Martha mulai membuka kotak itu. Nana melirik sekilas kemudian segera sibuk mengambil tas sekolahnya di atas sofa, terlihat tak tertarik.

"Nggak perlu. Aku berangkat dulu, Ma." Nana membungkuk mengambil sebuah travel bag berwarna biru. Hari ini, ia dan teman-teman ekskul pramukanya akan pergi camping.

Martha menatap anaknya dengan pandangan kecewa, namun hanya sesaat, "Bawa aja donatnya, Na."

"Itu bukan donat, Ma. Nggak bulet, berantakan banget," ucap Nana dengan sedikit keras.

"Rasanya sama kok, Na. Kamu bisa bilang ke Gina sama temen-temen yang lain karena bentuknya agak berantakan jadi dijual agak murah. Kan kamu udah janji sama Gina mau bawa donat buat dijual di kopsis, masa nggak jadi?"

"Mending nggak jadi daripada begitu," gumam Nana, tapi Martha tidak mendengarkan ucapannya.

"Mama agak kecapekan sih kemarin malem... arisan di rumah Bu Tuti agak lama, terus ngajarin Jose matematika, jadi lupa bikin donat buat kamu. Bentar, Mama ambilin tas kresek ya."

"Nggak usah, Ma," Nana mendecak dengan nada suara ketus, semakin sebal dengan rentetan kalimat ibunya.

Martha terdiam sesaat, terlihat bingung bagaimana harus menanggapi sikap anak gadisnya ini. Orang bilang, masa remaja adalah masa yang menyenangkan bagi yang menjalani. Tapi bagi orang tua, menghadapi anak remaja itu lebih sulit dari pada melawan musuh di medan perang. Kadang, strategi apapun yang dipakai tidak ada yang berhasil.

Melihat wajah bingung ibunya, Nana tak tega juga. Dengan desahan panjang, cewek ini mengatakan, "Sini, aku bawa aja donatnya."

Wajah Martha seketika menjadi cerah. "Mama ambilin tas kresek besar, ya."

"Nggak perlu," Nana segera mengambil kotak donat itu dan menggeser tali travel bag sampai ke lengannya sehingga ia bisa membawa kotak itu dengan kedua tangannya. Kali ini, Martha tidak memprotes meski ia masih berpikir tas plastik besar akan lebih mudah dibawa.

"Aku berangkat dulu," Nana berpamitan dengan ibunya dan langsung beranjak keluar. Martha menyadari kejanggalan dari situasi ini dan segera mengejar Nana.

"Berangkat sendiri? Gina nggak jadi jemput?"

"Nggak tahu. Udah telat," jawaban Nana terdengar sebal. Padahal kemarin saat Gina menawarkan diri untuk menjemput Nana karena Nana akan membawa banyak barang ke sekolah, dengan jelas Nana sudah mewanti-wanti supaya Gina datang tepat waktu. Sepertinya Nana telah salah memercayai temannya itu.

"Terus, kamu mau jalan kaki bawa barang sebanyak ini?" tanya Martha lagi.

"Ya mau gimana," Nana bergumam singkat sambil membuka pintu depan rumah mereka. "Papa juga lagi tugas ke luar kota."

"Kalau ada Yohan, gampang ya... bisa langsung dianter," Martha tersenyum sambil mendekat ke arah Nana, menutup kotak donat yang sedikit terbuka.

Begitu nama itu disebut, wajah Nana yang sudah kaku, berubah menjadi semakin tegang. Martha bukannya tidak menyadarinya. Wanita yang baru saja berulang tahun ke lima puluh kemarin lusa itu menepuk pundak anak gadisnya. "Jangan begitu... namanya kan bukan nama yang tabu,"

Nana mengertakkan giginya keras-keras. Susah payah ia menelan ludahnya yang tersangkut di tenggorokannya.

"Memangnya, Nana nggak kangen Yohan?"

Nana menipiskan bibirnya dengan wajah yang tak terbaca. "Aku pergi dulu, Ma."

Martha mendesah saat Nana membalikkan badannya, tidak berkomentar apa-apa. Sudah dua tahun berlalu, entah sampai kapan anaknya itu akan terus menerus begitu jika nama 'Yohan' disebut.

**************************************************************

Naskah ini ternyata sudah kutulis sejak Juni 2013 yang lalu. Terus setelah itu, aku nggak mood menyelesaikan. 

Setelah itu, saya juga ngerasa nggak bisa bikin naskah remaja *inget umur :D

Untungnya, naskahnya nggak hilang. 

Ditunggu saran dan kritiknya, ya.

Thanks a lot ;* 


JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang