ENAM - HE FOUND ME

Mulai dari awal
                                    

Mengucapkan kalimat itu, sama beratnya dengan melihat ekspresinya saat ini. Namun, aku ingin jujur kepadanya tentang apa yang aku hadapi sekarang. Bagaimana jika Banyu, tiba-tiba memutuskan sebaliknya setelah perasaanku kepadanya tumbuh semakin subur? Aku sudah cukup lelah bermain dengan hati. Tidak ada lagi sisa kekuatan untuk mencoba. It's either yes or no. Jika saja, masalah dengan Kara tidak pernah ada, Chris tidak datang ke Indonesia dan Adam tidak perlu ke London, semuanya mungkin akan berbeda. Aku tidak mengingkari perasaanku terhadap Banyu. Namun, saat ini, aku belum siap untuk sebuah kekecewaan lagi. Life has disappointed me in the way I'd never imagined. I couldn't take another one. Not now.

"Kenapa Pak Adrian nggak kasih izin saya keluar dari Jasmine kalau begitu?"

"Karena saya nggak bisa lihat kamu mengorbankan diri untuk saya, Banyu."

"Saya nggak ngerti sama jalan pikiran Pak Adrian."

Aku tersenyum. "Semuanya akan masuk akal nanti, Banyu. Saya janji," ucapku sambil memanggil pramusaji untuk meminta bill makan malam kami. "Ini bukan penolakan dari saya, Banyu. Jangan anggap saya nggak menginginkannya. I do want it. But, I just can't take another mess at the moment and drag you into it. Saya nggak mau kamu ikut teseret sama apa pun yang sedang saya alami sekarang. Anggap saja, ini cara saya ngelindungin kamu. Bisa kan, saya minta kamu berpikir seperti itu? "

"Akan saya coba, Pak."

Aku membalasnya dengan sebuah senyum.

Kami tidak banyak bicara setelah meninggalkan meja dan menuju tempat parkir. Mengingat betapa macetnya Jalan Oberoi setiap jam makan malam, aku meminta Banyu untuk memboncengku dengan mootornya. Lebih gampang dan praktis seperti itu. Namun, belum ada lima langkah dari pintu keluar The Bistrot, sebuah suara membuatku berhenti, begitu juga dengan Banyu.

"Selamat malam Pak Adrian, kita ketemu lagi."

"Selamat malam Mbak. Apa kabar?"

"Baik, Pak. Saya cuma mau bilang kalau Mr. Chris suka sekali dengan bunganya dan ingin sekali mengunjungi Jasmine."

"Saya senang mendengarnya. Beliau dipersilakan datang kapan saja," ucapku sambil berusaha menahan ekspresi agar tidak berubah hanya karena mendengar nama Chris.

"Oh, itu dia Mr. Chris!"

Pandanganku segera mengikuti wanita muda yang kemarin lusa membeli rangkaian bunga untuk menyambut Chris dan mataku terpaku pada sosok yang sedang berjalan menuju ke arah kami. Dengan kemeja ungu muda, Chris tampak seperti baru keluar dari katalog terbaru Ermenegildo Zegna, karena aku yakin, kemeja yang dikenakannya pasti bertuliskan merek itu. Tinggi badannya masih mengirimkan aura intimidasi, sekalipun dia benci aku menggunakan kata itu. Mata hijaunya tentu tidak terlihat dari jarak sejauh ini, tetapi aku tidak akan terkejut, pandangan menohok itu masih menjadi miliknya. Rambutnya dipotong pendek, meski dia tidak menutupi adanya warna abu-abu yang mulai menjalarinya. Ketika langkah Chris semakin dekat, ada dorongan begitu kuat untuk berlari ke arahnya, memeluknya, menceritakan semua masalahku kepadanya, seperti yang selalu aku lakukan dulu. Hanya beberapa langkah sebelum kami kembali bertemu. Aku mengetukkan sandal yang aku pakai, memainkan jemariku di dalam saku celana, hanya untuk mengurangi degupan jantungku yang makin kencang.

Aku sangat ingin membaca pikirannya saat ini. Ketika kami kembali berdiri berhadapan, bibirnya mengembang tetapi tidak sempurna, hanya sebuah senyum tipis. Namun matanya. Aku tahu, dia bahagia akhirnya menemukanku. He always finds a way to find me.

"Mr. Chris, this is Mr. Adrian, the owner of Jasmine. I told him you love the flowers," ucap wanita muda itu sambil memperkenalkan diriku ke Chris.

SEBUAH PILIHAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang