EMPAT - THE DINNER

3.3K 293 11
                                    

Memandang bayanganku di cermin, ada sesuatu yang selama ini luput dari perhatianku. Sebagai pria yang jarang menghabiskan waktu di depan cermin, aku menyadari, ada beberapa helai rambut berwarna kelabu mulai muncul di beberapa tempat. It only means one thing: age starts to play its game on me. Ada kerutan di kening, tidak banyak, tetapi cukup untuk membuatku sadar, ada yang membebani pikiranku selain Adam. Apakah pikiran dan kerutan saling berhubungan? Entahlah. Ada sedikit goresan kecil di dagu, akibat pisau cukur yang aku gunakan pagi ini. Mungkin terlalu bersemangat akan hari ini atau rasa bahagia yang memenuhi hatiku akan kedatangan Banyu, hingga aku kehilangan konsentrasi untuk sejenak. Sudah saatnya aku memotong rambut. Beberapa helainya sudah mulai menutupi telinga, membuatnya berantakan jika terkena angin. Aku menghela napas.

"Astaga, kenapa aku jadi seperti ini?"

Berjalan keluar dari kamar mandi, aku langsung menuju ke walk-in cabinet yang letaknya memang hanya beberapa langkah. Sejak kepergian Kara, walk-in cabinet ini terlihat terlalu luas untuk pakaian yang aku miliki. Menggantung beberapa blazer, jas, serta kemeja yang hanya aku pakai jika ada acara formal, sepatu yang jarang aku pakai, mengingat panasnya Bali. Sandal dan boat shoes lebih mengisi rak-rak lemari ini, karena mereka tidak memakan begitu banyak tempat. No boots or brogues. Menghampiri tumpukan kemeja, aku memilih satu kemeja lengan panjang berwarna cokelat tanah serta celana panjang berwarna navy. Meski di rumah, aku selalu berusaha terlihat pantas jika ada tamu berkunjung. Kebiasaan yang masih aku bawa sekembalinya dari London.

Sebuah ketukan, tepat ketika aku selesai dengan kancing terakhir di pergelangan tangan, membuatku sedikit mengerutkan kening. Aku bahkan belum menyisir rambut. Aku keluar dari walk-in cabinet menuju pintu untuk melihat siapa yang ada di balik pintu. Adam biasanya langsung masuk ke kamar karena tahu pintu kamarku tidak pernah terkunci. Namun, tidak jarang dia berbuat iseng dengan mengetuk kamarku. Aku harap, kali ini adalah bentuk lain dari keisengan Adam.

Begitu membuka pintu, aku terkejut mendapati Banyu berdiri di sana. Untuk beberapa saat, kami saling terdiam. Aku tidak begitu suka orang melihatku dalam keadaan berantakan, tetapi itulah yang dilihat Banyu sekarang.

"Maaf Pak, saya cuma mau ngambil ular tangga Adam yang katanya ketinggalan di kamar Pak Adrian."

"Saya kira Adam, karena biasanya dia juga sering isengin saya."

Aku kemudian membalikkan tubuh untuk mengambil ular tangga Adam, yang sejak kemarin lusa ada di kamarku. Malam itu, dia memaksaku untuk menemaninya main ular tangga karena dia sedang berada dalam suasana hati yang buruk, hingga tidak mau tidur ketika aku minta. Aku menyerahkan ular tangga itu ke Banyu dan kembali, kecanggungan itu hadir diantara kami.

"Pak Adrian rapi sekali."

"Saya belum mendekati rapi, Banyu. Tunggu sampai kamu lihat saya pakai jas dan dasi," godaku yang membuatnya terlihat salah tingkah.

"Saya lebih baik turun sekarang, Pak. Adam akan bertanya-tanya kenapa saya lama sekali."

"Bilang saja, kamu membantu saya berpakaian," balasku.

Banyu segera membalikkan badan dan ada tawa kecil keluar dari mulutku. Kenapa aku jadi flirty begini? Aku yakin, kalimat terakhirku membuatnya tersipu.

Aku kemudian menutup pintu dan melanjutkan apa yang tadi diinterupsi oleh Banyu. Menyisir rambut.

***

"Siapa yang menang?" tanyaku, begitu melihat dua pria berbeda generasi itu masih bermain ular tangga di ruang tengah.

Banyu memandangku setelah memainkan gilirannya. "Adam selalu memaksa pion saya turun kembali ke nomor kecil," balasnya.

SEBUAH PILIHAN HATIWhere stories live. Discover now