LIMA - ALSTROEMERIA

Start from the beginning
                                    

Aku menyandarkan tubuh di kursi dan memejamkan mata. Berharap semuanya tidak terjadi di waktu yang bersamaan. Hidup seperti mengatur ini semua untuk melihatku membuat pilihan, yang pada akhirnya, pilihan mana pun itu, aku harus hidup dengan konsekuensinya dalam jangka waktu yang lama.

Sebuah ketukan membuat mataku kembali terbuka, membantuku menyingkirkan ketakutanku. Memaksanya ke sudut gelap untuk beberapa saat/

"Silakan masuk."

Ada senyum di wajahku begitu melihat Banyu berada di ruanganku. Begitu menutup kembali pintu dibelakangnya, aku melihat dia membawa satu kantong plastik kecil.

"Saya cuma mau ngasih ini Pak," ucapnya sambil menyerahkan plastik itu kepadaku. Aku memandangnya heran karena Banyu tidak pernah melakukan ini sebelumnya.

"Apa ini?" tanyaku sambil meraih bungkusan itu dari tangannya.

"Makan siang, Pak. Panas sekali di luar dan tadi pas nganterin bunga, saya mampir sekalian buat makan siang. Biar Pak Adrian nggak keluar kantor. Saya harusnya kasih makan siang ini sejak tadi, tapi sehabis nganter bunga, langsung disandera Indri buat bantuin dia. Cuma nasi campur kok Pak. Saya belum bisa beliin Pak Adrian steak buat makan siang," jawabnya sambil tersenyum.

"Banyu, kamu nggak perlu membelikan saya makan siang," balasku. "Saya baru berniat mau keluar. Dan kamu juga nggak perlu beliin saya steak, kan saya bisa masak sendiri," jawabku yang diiringi senyum.

"Karena saya lihat, Bapak tidak keluar ruangan sejak tadi. Jadi saya pikir, Pak Adrian sangat sibuk sampai lupa kalau jam makan siang hampir berakhir."

"Terima kasih, Banyu."

Banyu mengangguk. "Saya balik kerja lagi Pak, silakan dinikmati makan siangnya," ucapnya sebelum ruanganku kembali kosong.

Akan sangat munafik, jika tidak ada rasa bahagia menyusupiku. Ini hal kecil, makanan yang aku taksir juga tidak akan membuat kantongnya jebol, tetapi perhatiannya, usahanya untuk menghindarkanku keluar dari Jasmine hanya karena cuaca di luar panas. Sebagai orang yang sangat memerhatikan detail, apa yang dilakukan Banyu membuat harapan itu kembali menghampiriku.

Aku segera bangkit dari kursi untuk meraih sendok dan piring, sebelum kembali duduk di kursi. Membuka bungkusan itu, aku melihat nasi putih yang hanya setengah -Banyu tahu aku tidak pernah makan banyak untuk makan siang-, urap daun singkong, dua potong tempe goreng dan sambal terong. Sederhana, tapi untukku, ini lebih dari cukup untuk memikirkan, harus membalasnya dengan apa.

***

Langkahku terhenti ketika melihat Putu sedang berbincang dengan seorang wanita muda yang aku yakin adalah seorang Personal Assistant, menilik dari cara dia berpakaian. Aku menghampiri mereka, sekadar memastikan semua baik-baik saja dan untuk mengetahui, bunga apa saja yang sedang dirangkainya.

"Dia datang sore ini dari Jakarta Mbak, bakal di Bali selama 6 bulan. Jadi, bisa dibilang buat welcoming gitu. Kebetulan juga, tadi saya lewat daerah sini, jadi mampir sekalian."

"Oh ya? Bakal satu kantor sama Mbak?"

Aku mendengar obrolan itu begitu jarak kami semakin dekat. Putu sedang merangkai mawar, Alstroemeria dan bunga krisan, yang semuanya berwarna putih. Siapa yang akan datang? Seorang yang sangat sucikah sampai harus memilih single color? Siapa pun yang akan menerima rangkaian bunga ini pasti sangat tersentuh. Tidak banyak orang yang membuat buket ataupun rangkaian bunga dengan Alstoemeria.

"Iya, dia cuma ngawasin proyek kita aja, seperti konsultan gitu. Saya sih berharap orangnya nggak galak dan nakutin," ucap wanita itu smabil mengamati Putu merangkai bunga yang sepertinya sebentar lagi siap untuk dibawa.

SEBUAH PILIHAN HATIWhere stories live. Discover now