Rachel tak keberatan jika ia menggantikan Susi. Namun, ada satu pertanyaan yang ada di dalam otaknya dan ingin ia tanyakan. "Kenapa gak Salsa aja yang jadi kasir?"

"Salsa gak bisa. Tolongin gue ya hel. Gue buru–buru nih, bye." Susi berjalan menjauhi Rachel dengan tergesa–gesa. Rachel menghela napas panjang. Kemudian kakinya melangkah ke arah kasir dan mulai menggantikan sementara profesi Susi sebagai kasir.

"Hot Chocolate satu, Mbak."

Tubuh Rachel menegang mendengar suara itu. Lagi–lagi suara itu. Kepala Rachel tertunduk, menyembunyikan wajahnya supaya tak terlihat. Beruntung, ia memakai topi yang memang di wajibkan untuk para pegawai. Setidaknya, wajahnya tidak akan terlihat jika ia menunduk.

Kai POV

"Hot Chocolate satu, Mbak," ucapku lantang kepada barista di hadapanku ini.

Ada sesuatu yang aneh pada barista ini. Yang ku tau, sedari tadi, barista ini terus menunduk. Entah apa yang ia sembunyikan. Topi yang ia kenakan di tambah ia menunduk membuatku tidak dapat melihat wajah barista itu.

"50 ribu, Mas," ujar barista itu pelan, bahkan terkesan berbisik. Barista itu masih tetap pada posisi yang sama, tertunduk. Aku menyerahkan uang tunai bernilai 50 ribu kepada barista tadi.

Karena penasaran, aku memberanikan diri untuk bertanya pada barista yang sangat aneh itu. Mengapa aku mengatakan hal demikian? Karena pada umumnya, seorang barista akan menatap pembelinya atau tersenyum ramah bukannya menduduk seperti ini. Pembeli ada di hadapannya, bukan di bawahnya.

"Mbak kenapa, sih? Kok daritadi nunduk mulu?"

"Ma-af," ucap barista tadi tergagap. Aneh sekali.

Karena gemas barista itu tak kunjung mendongak untuk menatapku, aku dengan lancang menarik dagunya ke arah atas supaya aku dapat melihat wajahnya.

Aku terkesiap melihat wajahnya. Wajah yang selama ini menghilang bak di telan sang mentari.

Author POV

Rachel menepis kasar tangan Kai yang menyentuh dagunya. Ia menatap Kai dengan tatapan tajam. Berbanding terbalik dengan tatapan Kai kepadanya yang memancarkan semburat kerinduan. Ada yang salah di sini.

"Rachel?" entah Kai sedang bertanya atau memanggil.

"Siapa, ya?" sinis Rachel, seakan ia tak pernah mengenal laki–laki yang saat ini sedang berada di hadapannya. Ada semburat kebencian yang ia perlihatkan.

Kai terkejut melihat sikap Rachel yang tak seperti biasanya. Kai mengerjapkan matanya berkali–kali, memastikan ia salah lihat atau tidak. Tapi nyatanya, yang di hadapannya ini memang Rachel. Namun bukan Rachel yang biasanya.

"Lo kenapa ada di sini?" tanya Kai tanpa mempedulikan tatapan tajam yang di layangkan Rachel untuknya.

"Memangnya ada urusan apa, ya?" tanya Rachel dengan aksen datar namun terdengar sangat dingin dan membekukan.

"Lo kenapa sih?"

Rachel berdecak. "Maaf, apakah anda sudah selesai? Di belakang anda sudah ada pembeli yang ingin saya layani. Jadi, lebih baik anda pergi karena saya tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani anda."

Broken HomeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt