Part 26

106K 9.6K 521
                                    

Sepertinya, Aku berhenti bernafas.

Pilihan untuk mengetuk pintunya berakhir pada sesuatu yang kusesali dengan terlambat. Membuatku berdiri diantara kegugupan dan ketakutan.

Gugup karena ini adalah kali pertama aku memasuki daerah pribadi Damian, membuatku menjadi sedikit canggung sekaligus sangat berdebar karenanya.

Dan juga takut, jika nanti bisa saja, aku tak mampu bertahan untuk segera menghambur ke dalam peluknya.

Sejenak, sistem gerakku seakan menyerah di bawah cengkraman kuat dan hangat tangan Damian. Aku menyadari kakiku berhenti ketika Damian juga berhenti menarikku.

Saat ini, aku bisa saja menghindarinya. Berlari keluar ke arah pintu yang tidak terkunci itu. Menyelamatkan diri dari pembicaraan rentan yang selalu terasa sensitif diantara kami.

Tapi sampai kapan?

Waktu terus berjalan. Semakin lama bersama Damian hanya semakin memperjelas keyakinanku jika aku sangat mencintainya. Ingin selalu bersamanya. Tidak ingin kehilangannya dengan cara apapun. Tapi hingga saat ini pun, aku masih menatap buram dari jalan ceritaku bersamanya.

Sesaat, Damian menatapku sebelum kemudian melepas tanganku begitu saja lalu berjalan menjauh ke arah jendela. Tangannya menjumput selembar kaos di ranjang sambil lalu, memakainya dalam beberapa detik.

Keterdiaman Damian memberiku waktu banyak menyerap sosok tegap yang tengah berdiri melawan temaram ruang. Meski tak melihat wajahnya, namun punggung Damian seperti meneriakkan kemarahan padaku. Kamar yang temaram dan sinar samar dari luar jendela menambah suram pancaran dirinya dimataku. Seolah suasana kamar ini turut menyatu dengan keadaan hati yang jauh dari kata baik-baik saja.

Satu hal yang kuketahui saat ini; ia sama kacaunya denganku.

"Damian," kuputuskan untuk memecah keheningan. Sosoknya masih diam bak patung tak bergerak. Suaraku memudar di udara bersama hening yang tak berhasil kuhancurkan. Kuartikan, Damian masih ingin memelihara diam diantara kami.

Namun, jika dia hanya ingin diam, lalu untuk apa menarikku kesini?

"Aku kira kau ingin bicara."

Aku masih bicara pada angin karena Damian tetap teguh dikakinya dengan mulut terkunci. Kedua tanganku mengepal, memastikan jika suaraku tak bergetar dan tetap tenang. Bersamanya di dalam ruangan ini, diselimuti kekosongan bukanlah hal bagus. Aku bisa saja jatuh di lututku sekarang dan memohon padanya untuk berhenti menjadi diam.

"Aku akan keluar jika kau... masih ingin sendiri."

Kalimatku masih saja tertiup angin. Damian tetap diam memunggungiku meski tadi keyakinanku cukup besar ketika menyebut aku akan keluar, sebagian diriku berharap ia akan berbalik dan menahanku. Tapi sepertinya Damian memiliki caranya sendiri. Kali ini, caranya menunjukkan kemarahan sangat menakutkan. Sebuah ketakutan bagiku jika saja kemarahan itu akan membuatnya melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan.

Mungkin bukan waktu yang tepat bagi kami berdua membahas masalah ini. Tidak cukup kuat bagiku dan tidak cukup tepat untuknya. Aku memutar tubuhku, membiarkan mataku masih menatap punggungnya beberapa detik lalu melepas sosoknya ketika kakiku tengah mencapai pintu.

"Kenapa?" Suara pelan namun samar itu berhasil menghentikan tanganku memutar handle pintu. Tidak hanya itu, aku juga merasakan hembusan hangat di ujung kepalaku.

Aku berbalik dengan cepat dan tertegun ketika menemukan sosok Damian sudah berdiri tepat di depanku.

Aku tersentak dan refleks mundur hingga kakiku tertahan karena pintu menghalangi punggungku. Hal pertama yang terekam jelas di mataku adalah, sorot mata sedih bercampur emosi miliknya.

Shadow Kiss [Completed]Where stories live. Discover now