Chapter 17

2.4K 273 149
                                    

Pening di kepalanya makin menggila. Rasanya kepala ditekan dari berbagai arah. Perutnya dilanda rasa tak nyaman, ia seakan ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya. Untung ia dapat menguasai diri agar tidak melakukannya di atas rerumputan hijau yang terawat. Mengerjapkan matanya beberapa kali, berharap bisa memperjelas pandangannya dari air mata yang terkumpul di pelupuk matanya.

Pengharapan besar dalam dirinya jika semua ini hanyalah mimpi buruk. Namun semakin ia meyakinkan dirinya, semua makin terasa jelas. Niall tak pernah benar-benar mencintainya. Dia hanya bermain-main dengannya.

Dia benci dengan hidupnya. Selama ini ia dibutakan oleh semua perlakuan manis Niall. Ia berangan-angan terlalu tinggi hingga tak menyadari seberapa jauh ia terbang. Apa memang betul ia tak pantas mendapatkan kebahagiaan?

Seharusnya ia tetap berpegang teguh pada keyakinan bahwa cinta sehidup semati itu tak akan pernah ada.

Ia menghamparkan pandangan ke sekelilingnya. Taman kota tak begitu ramai ketika sore hari. Hal itu yang membuatnya memilih tempat ini untuk menenangkan diri. Entah butuh berapa lama proses itu, yang terpenting ia tak perlu bertatap langsung dengan wajah Niall. Malam ini ia tak akan kembali ke rumah, ia akan kembali melarikan diri ke rumah Rose. Setelah ia bisa berfikir dengan jernih baru ia akan kembali. Keputusannya sudah bulat.

Hazel tahu betul apa yang akan terjadi jika ia meninggalakan rumahnya tanpa memberi kabar pada Niall.

Punggung Hazel bersender di kursi taman yang menghadap ke danau buatan yang berada tepat di tengah taman. Pantulan matahari yang mulai terlihat di permukaan danau, memberikan efek jingga yang indah. Air mata Hazel kembali turun.

Potongan kejadian itu terus berulang di kepalanya. Melihat Claudia yang merangkak di atas meja kerja suaminya hanya dengan pakaian dalam adalah hal tergila. Sepolos apapun Niall bukankah seharusnya ia tahu batas pegawai dan atasannya?

Kini apa yang selama ini ia takutkan terjadi.

Hazel menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menghalau air mata jatuh lebih deras. Percuma, benteng pertahanannya kini sudah runtuh. Air matanya kembali lolos. Ia terisak.

Kedua tangannya yang ditumpu di pahanya menutup wajahnya. Dia bilang hanya dirinya yang ada di hatinya. Dia bilang tak akan pernah meninggalkannya. Kata-kata itu membuat hatinya kembali sesak. Omong kosong! Buktinya sekarang Dia memilih bersama gadis lain.

"Sore yang indah bukan?"

Suara itu membuatnya menoleh ke sebelah kirinya. Hazel mematung memandang Harry yang duduk di sebelahnya dengan senyuman manisnya. Harry selalu ada didekatnya ketika ia bersedih. Ia selalu hadir ketika dirinya membutuhkan sebuah rengkuhan. Perlahan senyuman itu memudar digantikan tatapan khawatir.

"Hei, mengapa kau menangis?" Dengan gerakan cepat, Hazel menghapus air matanya dan tersenyum pahit.

"Aku baik-baik saja," Hazel berucap lirih.

"Tidak, kau tidak baik-baik saja," Harry meraih tubuh Hazel dan membawanya ke dalam pelukan. Untuk yang kesekian kalinya ia menangis. Merutuki rumah tangganya yang tak pernah bisa se-indah yang dibayangkannya. Gerakan tangan Harry yang mengusap punggung Hazel menenangkannya.

"Apa aku tak berhak mendapat kebahagiaan, Harry?"

Harry berhenti melakukan kegiatannya sesaat. "Kau berhak mendapatkan kebahagiaan, Hazel. Hanya saja kau salah mencari sumber kebahagiaanmu."

Terdiam seribu bahasa. Otak Hazel berkerja keras mencerna dua kalimat yang baru saja terlontar dari Harry. Sumber kebahagiaan. Selama ini ia meyakinkan dirinya jika Niall-lah sumber kebahagiaannya. Tapi ia tak pernah benar-benar yakin. Apa yang barusan Harry katakan benar adanya? Selama ini ia salah mencari kebahagiaan.

Hold tight | njh✔️Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt