"Ibu! Chanyeol tidur di kamarku lagi!" teriaknya, hanya untuk menyadari bahwa ibunya pergi; beliau telah pergi bekerja sebagai pelayan di berbagai tempat untuk menyokong mereka bertiga. Ugh.

Hanya dengan satu tambahan anggota keluarga sudah mengubah banyak hal bagi Baekhyun. Awalnya dia tidak mengira memiliki saudara tiri akan sangat menyusahkan, sampai saat dia menemukan bahwa Chanyeol memiliki kecerdasan setingkat anak SD dan membutuhkan pengawasan rutin, supaya dia tidak berakhir memasukkan garpu ke stop kontak atau, entah bagaimana, menenggelamkan diri. Biar bagaimanapun juga, kondisi ekonomi keluarganya labil sehingga tidak memungkinkan untuk menyewa pembantu, ataupun bagi Baekhyun untuk menjaga orang dungu selagi ia ada sekolah dan latihan sepak bola untuk dihadiri. Ujian penerimaan diadakan pada pertengahan November, dan sekarang sudah bulan September.

Kalau dia sampai tidak belajar dan masuk universitas ternama, itu semua salah Chanyeol.

Saat Baekhyun ada di lantai bawah mencari-cari sesuatu di kulkas untuk dimakan, dia melihat Chanyeol keluar dari kamarnya dengan rambut seperti sarang burung. "Hei, Chanyeol, aku tidak ada waktu untuk membuatkanmu sarapan, jadi makan ini saja, ya?" Baekhyun meletakkan sebuah apel di meja selagi membuat sandwich isi daging untuk dirinya.

Seperti Chanyeol punya kapasitas otak yang cukup saja untuk membantah apakah ia ingin apel atau sandwich.

Dia terlalu sibuk menyiapkan perlengkapan sekolahnya hingga tidak menyadari ada yang aneh dengan Chanyeol, namun saat saudara tirinya itu mulai berjalan ke arahnya dan meninggalkan jejak air di sepanjang jalannya, Baekhyun berteriak dalam hati. "Kau mengompol lagi?!" dia mengerang, "Itu celana training sepak bolaku!" Sekarang, ia melihat noda gelap air seni mengalir di kain abu-abu (dan mahal) miliknya itu. Mungkin menggemaskan bila anak kecil yang mengompol di celananya, tapi, seorang pria dewasa yang tidak bisa mengontrol kandung kemihnya sendiri? Menjijikkan!

Baekhyun dapat membayangkannya sekarang. Wali kelasnya akan memarahinya tentang bagaimana ia harus datang lebih awal, dan satu-satunya alasan yang ia punya yaitu sedang mengganti celana saudara tirinya.

Chanyeol tidak mengerti sama sekali seperti biasa, melihat ke bawah ke celana yang ternodai dan kembali ke Baekhyun dengan ekspresi penuh penyesalan. "Maaf, Baekhyun, aku tidak sengaja... aku tidak sengaja..." dia tergagap, sembari melepas celananya di ruang tengah.

Baekhyun memekik dan menutup wajahnya dengan satu tangan, menurunkannya lagi dengan sedikit perasaan jijik. "Yesus, pakai celanamu!" dia meraung, melempari Chanyeol dengan sebuah apron pink yang tergeletak di atas pegangan oven sementara dirinya, layaknya saudara tiri yang dewasa dan bertanggung jawab, memungut celananya yang penuh tetesan dan melemparnya ke bak mandi. Selagi di dalam, dia menyambar kaca mata Chanyeol yang ada di samping sikat gigi dan berjinjit untuk menyampirkannya di atas hidung bocah itu. Di samping bodoh, Chanyeol memiliki penglihatan yang buruk juga, dan beberapa penyakit syaraf yang menyebabkan kedutan di kedua mata. Chanyeol benar-benar susah.

Lebih lambat dari biasanya, Baekhyun memberinya boxer baru dan memasangkan Chanyeol seuntai tali kalung di leher bagaikan hal tersebut hanyalah salah satu rutinitas paginya. Di ujung tali itu tergantung sebuah ponsel tua, yang hanya bisa dipakai untuk menelepon dan mengirim pesan. Nomor-nomor yang Chanyeol punya di ponsel hanyalah nomornya dan nomor ibunya. Mereka telah menarik hak Chanyeol untuk memanggil polisi setelah pada suatu hari dia menelepon polisi untuk menanyakan di mana Baekhyun berada.

"Berapa nomorku?" Akan sangat baik bila bertanya, kalau-kalau Chanyeol terlalu dungu untuk bisa mengerti cara kerja speed dial.

"030-8729-3004," jawab Chanyeol dengan senyum cerah. Sebenarnya itu adalah satu-satunya yang dia ingat, karena dia tidak tahu alamat rumahnya, atau apapun yang melebihi tiga digit angka.

"Bagus, kalau kau butuh sesuatu, langsung telepon. Tapi jangan di saat pelajaran." Dia berkata sembari memakai sneakers miliknya, memikul sebuah tas ransel lagi yang berisikan semua peralatan olahraganya. Lima menit setelah bel jam pertama dan dia bahkan masih belum berjalan. Chanyeol telah menjadi tanggung jawab baginya, tapi itu tidak berarti dia akan memberi tahu gurun-gurunya bahwa ia mempunyai seorang saudara tiri yang terbelakang untuk diurus. Itu memalukan.

"Dah, Baekhyun!"

Baekhyun memandang Chanyeol sekilas, dengan tampang bodohnya melambai disertai senyum terlalu bahagia di wajahnya. Dia hanya membalas dengan sebuah senyum palsu dan menutup pintu untuk bergegas pergi ke sekolah.

Tidak banyak jalan raya atau tempat-tempat ramai di kota kecil seperti Jeonju, karena wilayah tersebut terkenal akan pemandangan daerah pedalaman dan desa-desanya. Hampir tidak ada apartemen juga, hanya deretan rumah-rumah yang setidaknya berusia satu milyar tahun. Rumah sejuk yang Baekhyun tempati dulunya merupakan rumah kakek-neneknya, diwariskan pada generasi bawahnya ketika keluarganya tidak mampu lagi membiayai apartemen mewahnya di Seoul. Baekhyun telah ditransfer ke sekolah-sekolah setidaknya empat kali sekarang, namun sebenarnya dia menyukai sekolahnya saat ini. Seragamnya bagus dan mereka memiliki klub sepak bola yang bagus pula.

Itulah mengapa Baekhyun mencoba dan akhirnya terpilih menjadi kapten tim sekolah. Jadi, ya, dia merupakan salah satu dari murid-murid "populer" yang menikmati statusnya sedikit berlebihan. Dia salah satu dari anak-anak itu yang semua orang kira kaya dan memiliki orang tua yang terpandang hanya karena ia berasal dari Seoul.

Tiba di sekolah tiga puluh menit dari jam pertama, Baekhyun hanya bisa bermuka tebal saat ia masuk lewat belakang kelas. Sebagian besar mata tertuju padanya, dan sang guru, terkejut, melabelinya lamban begitu ia duduk dekat jendela di belakang temannya. Mereka berdua saling bersalaman, dan tampak jelas kalau beberapa perempuan tengah menggosip, jatuh pingsan malah, saat Baekhyun duduk di kursinya, sedikit terlambat.

"Maaf, pak," dia mengangkat tangannya seolah meminta maaf, "saya terlambat bangun."

Itu adalah alasan yang selalu dikemukakan Baekhyun karena itulah yang paling masuk akal. Tidak mungkin dia ingin menjelaskan bagaimana saudara tirinya berusaha membuatkannya roti panggang dan berakhir membakar separuh dapur, atau bagaimana ia harus memakaikannya baju karena orang yang dimaksud itu mengompol. Berusaha untuk tidak menghiraukan semua itu dengan senyum satu-juta-watt-nya, Baekhyun benar-benar lega ketika sang guru berbalik dan lanjut menulis persoalan matematika di papan tulis.

"Hei, Baekhyun!" Jongdae tersenyum, melingkarkan tangan di bahu temannya dari belakang, "Aku boleh mampir ke rumahmu nanti? Aku butuh bantuan dengan PR Matematikaku, dan aku yakin kau paham dengan pelajaran ini."

"Uh... Aku ada pekerjaan yang harus dilakukan malam hari."

"Benarkah? Payah. Jadi, kapan aku bisa mampir?"

"Tunggu," Baekhyun mengangkat jarinya saat mengeluarkan ponsel dari tasnya. Tidak heran, ada tiga puluh dua panggilan tak terjawab. Dia menduga setidaknya dua puluh delapan dari Chanyeol, lainnya dari ibunya yang menanyakan Chanyeol. Kemudian, tiba-tiba dia berhenti berjalan, matanya melebar. "Apa aku... belum mengunci pintu depan?"

"Aku tidak tahu," Jongdae menggaruk belakang lehernya, "kenapa kau menanyakan itu padaku?"

Saat terburu-buru meninggalkan rumah, Baekhyun tidak dapat mengingat kalau ia sudah mengunci pintu dari luar. Latihan sepak bola setengah jam lagi, tidak memberinya cukup waktu untuk mengecek kalau-kalau Chanyeol berkeliaran di luar. Segera dia memencet nomor Chanyeol (yang ada di speed dial) dan berharap mendengar berita baik di hari buruknya ini. 'Kumohon semoga ada di rumah... ada di rumah...'

.

.

a/n: bahkan aku sampe terharu baca ff ini. All the love goes to JINDEUL. He made such a beautifully written ff. Kalau penasaran dengan cerita dari fanboy satu ini, silakan cek cerita aslinya :D di Asian FanFic

Baby's BreathWhere stories live. Discover now