11 - A Love No One Could Deny

Start from the beginning
                                    

Haaa.. omong kosong macam apa ini? mereka membahas mengenai lantai?

Ponsel Alena berbunyi lagi, rupanya balasan langsung datang menghampirinya.

Wanita cantik itu bukan di lihat dari bersihnya dia dari luka, tapi dari bagaimana seorang pria melihatnya. Se cantik apa dia. Dan menurut saya, kamu cantik.

APAAAAA?

Apa-apaan ini!!!! balasan macam apa yang Muda ketikkan untuknya? Kenapa bibir Alena tersenyum dengan lebar, kenapa jantungnya malah menggantung dan hampir terlepas dari tempatnya? Arg.. ini berbahaya sekali.

*****

Muda menggelengkan kepalanya, bertukar pesan dengan Alena terasa menyenangkan sekali untuknya. Wah, luar biasa. Mood nya benar-benar naik seketika.

Tangannya bergerak untuk membalas pesannya, tetapi telpon yang masuk ke dalam ponselnya membuat Muda mengurungkan niatnya. Ada apa gerangan dengan ayahnya yang sudah menelponnya pagi-pagi sekali?

"Assalamualaikum, ada apa, pa?"

"Ada apa? memangnya papa telpon kamu karena ada apa-apa? papa Cuma mau bertanya saja, kamu kok gak ada laporan sama sekali sih, sama papa? Sementara sama mama kamu, tiap hari kasih kabar."

Muda menggaruk kepalanya yang tak gatal, benar juga ya. kenapa ia lupa?

"Muda sibuk pa, jadi lupa."

"Kata Icha kamu sibuk modusin anak orang."

Daaammmnnnn... ICHA!!!! Lihat saja nanti kalau Muda bertemu dengannya!

"Siang ini pihak Demints group yang memesan rancangan kamu untuk perumahan mereka bikin janji bertemu kamu disini. Masih ada waktu untuk siap-siap. Papa sudah pesankan pesawat, kamu pulang dulu ke Bandung, dan presentasikan hasil kamu untuk mereka."

Ekspresi wajah Muda berubah, lebih muram dari yang sebelumnya.

"Iya pa, Muda siap-siap pulang." Ucapnya, lesu.

"Oke. Papa tunggu, semoga mereka prosesnya cepat, ya. jadi kamu bisa balik lagi ke Bali."

Seolah Bali adalah rumahnya sementara Bandung adalah persinggahannya.

"Iya."

Hanya itu saja jawaban Muda untuk ayahnya. Setelah itu, sambungan mereka terputus dan Muda membersihkan dirinya kemudian bersiap-siap untuk pulang, tidak.. lebih tepatnya berkunjung sebentar ke Bandung.

Padahal, semalam ia begadang habis-habisan untuk menyelesaikan pekerjaannya, supaya seharian ini ia bisa mengajak Alena berjalan-jalan menaiki kapal selam. Yah, manusia hanya bisa berencana. Sementara Tuhan yang menentukan jalannya.

*****

Saya harus ke Bandung, ada pekerjaan disana.

Sampai sore hari, ketika matahari mulai tenggelam tepat di hadapannya, Alena menatapi isi pesan Muda pagi tadi dengan wajahnya yang memberenggut sedih.

Alena kenapa, sih? Di pikirnya Muda akan terus menerus tinggal disini, begitu? dan memangnya pria itu tidak punya pekerjaan lain?

Bandung itu tempat tinggalnya, sementara Bali hanya persinggahannya.

Alena meringis, bagaimana jika Muda pun menganggapnya sebagai persinggahan sementara saja?

Tidak.. Kenapa ia malah berprasangka buruk pada Muda sih?

Memangnya kenapa kalau Muda menganggapnya sebagai persinggahan? Ya, suka-suka Muda saja lah, dia yang memiliki dirinya termasuk pikirannya sendiri, kenapa Alena harus repot?

A Short Journey (3)Where stories live. Discover now