Dua Puluh Empat

15.6K 1K 32
                                    

Enjoy the story....!!!

Harap maklum dengan typo...takut kelewatan waktu revisi.

____________________________

Sisa-sisa hujan semalam masih tercetak jelas di atas aspal gelap yang basah. Begitu juga dengan langit shubuh yang masih menggambarkan kegelapan awan hitam. Udara pun masih terasa lembab dengan hujan gerimis yang masih setia jatuh ke bumi.

Fay mulai menyalakan mesin mobilnya ketika melihat Ivar sudah duduk dengan kaku di kursi penumpang di belakannya. Tentu saja hal itu hasil dari perdebatan panjang di antara keduanya. Ivar sudah pasti sangat merasa risih dengan keadaan mereka saat ini. Bagaimanapun juga ia adalah seorang pria yang seharusnya mengemban tugas yang Fay lakukan saat ini. Namun, ia juga sangat tahu ia tak akan mungkin. Sudah beberapa tahun ia tidak melakukan hal itu.

"Fay, Santa Monica lumayan jauh. Kau akan kelelahan. Aku bisa naik taksi," pinta Ivar, berharap Fay bisa merubah pikirannya.

Fay mendengus," 30 menit itu tidak jauh, Tuan Ivar." Ia mulai menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir rumah sakit. Ia tak ingin dibantah, ia ingin melakukannya karena memang ia ingin. Sesuatu yang ia tahu, ia akan menjalaninya seperti yang ia mau sekarang. Tak ingin memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak ia inginkan, itu akan membuat hatinya terbebani. Jadi semua yang ia lakukan saat ini adalah hal yang ingin dilakukannya.

Seperti menjadi sopir dari pria yang sudah dicap pembohong olehnya. Seharusnya, jika ingin melawan hati, ia tak harus melakukan hal ini, hal yang paling konyol sepertinya. Tapi hatinya menginginkannya, hingga ia tergerak melakukannya.

Fay sadar, emosi yang selama ini ia perlihatkan lahir dari tekanan batin yang ia ciptakan sendiri. Begitu banyak keinginan yang ia tolak dan ia belokkan, hal itu menjadi gejolak sendiri di dalam dirinya. Antara ingin bertindak, namun otak meminta untuk melakukan hal lain. Hingga hati dan otak mulai bergemulung satu sama lain. Dan hal itu benar-benar membuat Fay sangat tertekan. Kalian pasti tahu rasanya, ketika keinginan tak bisa diwujudkan, hal yang paling lumrah adalah sebuah kekecewaan, hingga menjadi amarah yang tertimbun. Karena kecewa itu bukan rasa yang manis....

Ia masih menyayangi Ivar, itu yang hatinya tahu dan inginkan. Ia tetap membanci Ivar, itu juga yang ia inginkan dengan sangat. Ia akan melakukan apa yang ia inginkan, tak ingin lagi menolaknya, ia ingin menjalaninya seperi ini. Menyayangi dan membenci secarah bersamaan, itu yang hatinya inginkan. Entah bagaimana ia akan menjalaninya, namun ia akan tetap menjalaninya, karena itu yang hatinya inginkan.

Tinggal bersama Ivar dan membencinya secara bersamaan.

"Kalau kau mau turun, silahkan. Tapi jangan harap aku akan menghentikan laju mobilnya," kata Fay dengan sinisnya.

Ivan mendengus mendengar ucapan sekenanya dari Fay, senyum di bibirnya tercetak begitu saja. Walaupun terkesan sinis, namun ucapan Fay tadi terdengar lucu di telinganya. Setidaknya tekanan suara wanita itu sudah berbeda dari sebelumnya. Fay sudah mampu mengontrol emosinya yang paling menakutkan dari keras kepalanya.

"Kau ingin membunuhku untuk kedua kalinya sepertinya," culas Ivar.

"Aku hanya memberi pilihan, siapa tahu kau mau membunuh dirimu kali ini."

Ivar hanya terdiam dengan balasan Fay, kalau percakapan itu terus mereka lanjutkan, akan ada pertengakaran yang besar nantinya. Jadi ia memilih diam, sudah sangat baik Fay mau mengantarnya saat ini. Ivar tidak ingin merusak momen indah mereka....walaupun sebenarnya terlihat sangat dipaksakan.

Seketika keheningan memenuhi suasana mobil, tak satupun dari mereka yang berbicara. Mereka sibuk dengan pikiran sendiri, karena merasa cengah, Fay mulai menyalakan radio mobil yang kebetulan sedang melantunkan sebuah lagu pengusir keheningan. Fay mencoba untuk tetap fokus pada jalanan di hadapannya, sesekali ia mengintip Ivar dari kaca mobil tengah, tentang apa yang dilakukan pria itu di belakang sana. Lagi-lagi itu yang diinginkannya.

PAIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang