Duabelas

12.9K 1K 13
                                    

Untuk yang masih setia membaca cerita ini, saya ucapkan banyak-banyak terima kasih.

Vote dan Comment kalian sangat berarti^^

Fay berdiri tertegun membaca papan iklan digital besar yang terdapat di atas bangunan yang berdekatan dengan butiknya. Iklan tersebut menampilkan video seorang gitaris yang akan melakukan pertunjukannya secara Live di The Sayers Club. Sepertinya ia adalah salah satu gitaris terkenal beraliran rege, terlihat jelas dari gayanya. Tapi walupun begitu, Fay benar-benar tidak tahu siapa pria itu.

Satu hal yang membuatnya ingat, hanyalah tempat tersebut, tempat yang selalu ia jadikan sebagai pelampiasan dari orang-orang yang ia benci. Sekaligus tempat memadu kasih dengan sosok yang dulu ia cintai, ayah kandung Clara. Tiba-tiba ia rindu dengan sosok itu, sudah delapan tahun lamanya. Apa ia masih tetap sama? Atau mungkin masih bermukim di satu kota dengannya saat ini.

Mungkin ada baiknya Fay mencari tahu keberadaan Vegar, mungkin juga dengan begitu ia bisa secepatnya menyelesaikan masalahnya, yang sepertinya tak menemukan pangkalnya.

Dengan langkah pelan, ia berjalan memasuki butiknya. Di dalam sana ia langsung di sapa oleh para karyawan dan juga pelanggan. Ia menyempatkan diri untuk menyapa mereka satu per satu lalu beranjak menuju lantai dua yang merupakan tempat beristirahat, sekaligus kantornya juga.

Setelah kakinya menapaki tangga yang terakhir, ia dikejutkan oleh suara mesin kopi yang dioprasikan oleh sepupunya, Katrin.

"Aku pikir kau siapa," ungkap Fay, masih memegang dadanya yang terkejut. Lalu berjalan mendekat.

Katrin tertawa. "Aku kan sudah biasa melakukan ini. Coffee?" ia mengangkat cangkir di hadapannya sebagai tanda penawaran.

Fay hanya mengangguk, kemudian memposisikan dirinya pada sofa kecil di dekat pantry.

"You are late, today," ujar Katrin. Ia ikut duduk di sofa dengan dua cangkir di tangannya. Fay langsung mengambil cangkir miliknya, lalu mengesapnya sedkit.

"Tadi pagi aku membantu Clara membereskan tugas sekolahnya yang abnormal."

Katrin mengerutkan dahinya bingung.

"Ada pelajaran memasak, entalah apa namanya. Intinya, aku harus membantunya membuat Red Velvet  dan harus direkam."

Katrin berdesis memperlihatkan wajah tersiksanya, ia tahu kalau Fay tidak pernah cocok dengan alat-alat dapur. "Dan hasilnya?"

"Apalagi kalau bukan menggagalkannya."

"Clara pasti sangat kecewa memiliki ibu sepertimu," canda Katrin. Tapi sepertinya itu tidak berpengaruh untuk sepupunya. Fay terdiam, hanya menatap cangkir yang masih berada di dalam genggamannya.

"Aku memang ibu yang buruk. Aku harus bersyukur....tapi kenyataannya aku sama sekali tidak akan menyukurinya...tapi yaa....Clara punya ayah yang bisa diandalkan. Sialan," kata Fay dengan senyum mencibirnya seperti biasa.

"Ivar?"

"Yaa...siapa lagi? Kalau tadi pagi ia tidak datang. Aku pasti sudah terlihat bodoh di depan teman-teman Clara."

Katrin menatap Fay dengan senyuman manisnya. "Kau sudah mengakuinya? Aku pikir dari dulu. Ah...tidak seumur hidupmu kau tahu, kalau Ivar adalah lelaki yang luar biasa hebat."

Fay melirik Katrin sinis." Oh...benarkah? Sepertinya aku lupa." Ia mengesap kopinya lagi." Ah...berbicara masalah lupa. Ada satu hal yang aku temukan tadi pagi. Tentang luka di punggungku, apa kau pernah tahu cerita dibalik itu?"

"Aku baru tahu kalau kau memilki itu. Mungkin luka itu kau dapat saat kecil dulu. Kau bisa menanyakannya pada Ivar, kalau kau benar-benar penasaran." Katrin mengerling nakal lagi.

PAIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang