Ya, Tuhan. Tolong jangan lagi.

Kupikir Nando akan bawel dan bertanya lagi, tapi tidak. Ia kini sibuk membumbui mie ayamnya dengan kecap, sambal dan perasan jeruk nipis kemudian mengaduk-ngaduk lalu mencicipinya. Ia mengangguk sekilas dan mulai makan dengan tenang.

"Nggak makan, Rev?" Tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Oh, ini baru mau makan" Kilahku.

Sepuluh menit berlalu dan Nando sudah menghabiskan isi mangkuknya. Setelah minum, ia mengamatiku yang tengah menghabiskan sisa-sisa kuah di mangkukku. Ia memberiku selembar tisu dan menyodorkanku segelas air ketika aku selesai. Sebuah pertanyaan terlintas di kepalaku. Dengan seluruh perhatiannya ini, sanggupkah aku meninggalkannya?

"Udah? Aku antar balik ke kantor, ya. Aku juga harus ke swalayan habis ini"

Nando hanya diam di sepanjang perjalanan menuju kantor. Namun, senyumnya tak pernah hilang. Ia juga tak melepaskan genggaman tangannya padaku, ia malah nampak bangga berjalan sambil bepegangan tangan yang ku anggap terlalu kekanakan ini. Tapi toh, aku menyukainya.

Kupikir ia hanya akan mengantarku sampai di depan kantor, tapi ternyata tidak. Ia mengantarku sampai ke dalam ruanganku. Aku masih diam karena memang tak tahu harus berkata apa.

"Ya, udah. Aku balik, ya, Rev. Semangat kerjanya" Katanya dan melepaskan genggaman tangan kami.

Ia maju satu langkah ke arahku yang refleks membuatku merinding. Nando mendekatkan bibirya ke telingaku.

"Aku sayang kamu, Rev" Bisiknya kemudian melayangkan kecupan kecil di dahiku.

Wajahku serasa panas. Aku pasti nampak seperti orang bodoh saat ini. Nando tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi putih bersihnya. Ia tak tahu bagaimana cepatnya jantungku berpacu saat ini.

Sepertinya Dewi Fortuna sedang berada di pihakku. Aku tak perlu berpusing ria seputar ajakan Ayah yang belum diketahui Nando. Aku merasa lega walaupun sesaat. Karena ketika kakiku sudah menginjak area apartemen, rasa gelisah itu kembali menghantuiku.

Kutelan ludahku sendiri sebelum membuka pintu apartemen. Kumohon, aku belum sanggup untuk menjelaskan semuanya pada Mama. Aku belum sanggup untuk meninggalkan Mama sendiri di apartemen ini.

Aku tengah sibuk melepaskan kaus kakiku ketika Mama datang dan menepuk pundakku pelan.

"Udah pulang, Vi?" Aku mengangguk.

"Mama mau ke unit 209 dulu, ya. Mau nganterin kue kering ini dulu. Maklum, tetangga baru, jadi harus disambut dengan baik 'kan, biar dia betah" Sambungnya.

Aku menghela napas lega seperginya Mama ke apartemen tetangga. Setidaknya masih ada waktu untuk merangkai kata-kata kalau saja Mama mendadak menohokku dengan pertanyaan yang sama seperti Nando tanyakan siang tadi.

Kupijat pelipisku yang rasanya mulai ngilu. Aku masih memakai seragam kantor, aku terlalu malas beranjak ke kamar ataupun mandi meskipun jam sudah menujukkan pukul tujuh malam.

Suara pintu apartemen berbunyi, pertanda Mama sudah kembali. Entah kenapa jantungku kembali berdegup kencang. Aku gugup.

"Lho? Kok nggak langsung mandi, Vi?" Tanya Mama sembari melepaskan syal coklat yang ia pakai.

"Masih males, Ma. Kepala Revi tiba-tiba aja pusing. Mungkin gara-gara kerjaan di kantor" Kilahku.

Mama menatapku sejenak dan berlalu ke dapur. Beliau kembali dengan segelas air hangat dan vitamin di tangan kirinya. Diletakkannya gelas itu tepat di hadapanku. Aku melongo dan menatap Mama dengan tatapan masa-iya-harus-minum-vitamin-lagi.

"Minum ini dulu terus mandi, ya. Mama mau urus budgeting kantor dulu"

"Lho, bukannya itu tugas Mas Kresna, ya? Kok jadi Mama yang ngerjain?" Tanyaku dengan nada sedikit keberatan.

"Budget itu hal yang sensitif, lho, Rev. Apalagi ini uang perusahaan. Mama masih khawatir kalau mau membebankan kerjaan ini ke Kresna" Jelas Mama. Aku hanya bisa manggut-manggut, karena dalam struktur perusahaan, Mamalah ratunya.

"Ya, udah. Mandinya jangan kemaleman, ya. Mama ke kamar dulu"

Aku kembali menghela napas lega. Memakai topeng ternyata tidak mudah. Aku setengah mati menahan getaran kakiku yang seumur-umur tak pernah berbohong pada Mama. Ya, meski belum bisa di anggap sebagai suatu kebohongan, setidaknya ada sesuatu yang kusembunyikan dari Mama.

Kusobek bungkus vitamin yang Mama berikan dan langsung menenggaknya. Sebenarnya aku malas sekali untuk mandi, tapi aku tak boleh sakit hanya karena kebanyakan pikiran seperti ini.

Usai mandi dan mengganti baju dengan piyama, aku duduk di ruang keluarga dan menyalakan TV. Mama belum kunjung keluar kamar. Pasti Beliau sedang mengerjakan proposal budgeting itu dengan serius. Karena biasanya, Mama tidak akan rela ketinggalan sinteron favoritnya.

Aku menguap lebar saat jarum pendek jam dinding di ruang keluarga menunjuk angka sepuluh. Aku keasyikan menonton sampai lupa waktu. Kupandangi pintu kamar Mama yang belum terbuka sedari tadi. Rasa penasaran mulai menjalariku.

Aku melangkah menuju kamar Mama. Pintunya tak dikunci, batinku. Aku membukanya sepelan mungkin takut kalau Mama sedang tidur. Kamarnya masih terang benderang, lampu tidur yang seharusnya sudah menyala bahkan tidak terjamah.

Aku masuk dengan langkah kaki tertahan. Ku edarkan pandangku ke seluruh ruangan dan mendapati Mama tengah tertidur di sofa samping tempat tidurnya. Laptop berwarna putih milik Mama masih menyala. Aku tersenyum kecil. Kuambil selimut yang ada di kasur lantas menyelimuti tubuh Mama. Beliau nampak sangat pulas. Aku tak tega untuk membangunkannya.

Aku baru hendak keluar kamar ketika mataku menagkap sesuatu yang mengusik pikiranku. Layar Laptop Mama menampilkan potret diriku dan Mama yang tengah berangkulan sambil tersenyum lebar menghadap kamera. Sangat bahagia. Momen itu di ambil saat usiaku baru beranjak 19 tahun. Saat hidup belum sebegini rumitnya. Saat masalah belum sebegini kompleksnya.

Kemudian satu pertanyaan familiar kembali menyeruak di otakku. Dengan segala ketulusan hati merawatku sedari kecil, tegakah aku meninggalkan Mama?

Jika Aku LesbianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang