Bab 9

18.4K 855 13
                                    

Ceci Pov

Ting... tongg...

Suara bel yang berbunyi membuatku bangkit dari sofa untuk membuka pintu.

"Selamat Pagi! Apa benar ini kediaman Ny. Anderson?" Tanya seorang pria yang memakai seragam pos.

Aku menganggukkan kepalaku, "Pagi, iya benar." Jawabku ramah.

"Ada paket, silahkan tanda tangan disini." Ujarnya sambil memberiku kotak yang di bungkus kertas padi.

"Terima kasih." Kataku setelah menanda tangan.

Aku melihat alamat pengirim yang tertempel di bawah kotaknya. Dari Indonesia. Siapa yang ngirim? Apa Oma sama Opa ya? Aku menaiki anak-anak tangga satu per satu. Berjalan penuh penasaran melihat kotak yang sedang ku pegang. Kuangkat kotaknya, lalu kugoyang di depan telingaku. Tidak ada bunyinya?

Aku langsung membuka pintu kamar orangtuaku tanpa mengetuk, seperti biasa.

"Bun... ini ada pak... ASTAGFIRULLAH!! AYAH!!! BUNDA!!!" Pekikku dan langsung kembali menutup pintu dengan keras.

Sial! Ughhh... pemandangan macam apa tadi itu? Bisa-bisanya mereka melakukan itu tanpa mengunci pintu?! Astaga...

Pipiku langsung memanas, disgusting. Saat aku masuk, Ayah dengan bertelanjang dada, sedang menindih Bunda? Ya Allah. Aku pikir mereka sudah berhenti melakukan begitu. Aku bersandar pada dinding di samping kamar orang tuaku. Mungkin saja mereka akan menghentikan permainannya.

Ceklek

Aku berdiri tegak saat pintu terbuka. Memasang senyum menjijikkan pada Bunda yang baru saja keluar dengan pipinya yang merona. Tentu saja, dia baru saja kepergok oleh putrinya sendiri.

"Ka-kamu... ngapain ke kamar Bunda? Ganggu aja." Ujar bunda dengan malu-malu.

Aku terkekeh melihat Bunda yang sudah berumur tapi masih saja salah tingkah kayak anak ABG, ckckck.

"Emangnya Ceci gak boleh ke kamar Bunda, ya?" Ujarku sambil menahan tawa.

"Bo-boleh. Tapi, nak. Bunda kan sudah bilang, kalau mau masuk ke kamar Orangtua atau siapapun itu harus ketuk pintu dulu." Omel Bunda.

Aku mendengus, "Biar gak kepergok lagi, hmm? Lagian, kalau Bunda mau begituan sama Ayah, Ceci gak masalah. Itu kan hak kalian. Tapiiii... seharusnya pintunya di kunci, Bunda." Balasku.

"Ah sudahlah... ada apa memangnya kamu mau ke kamar Bunda?"

"Ohh ini. Tadi ada paket untuk Bunda. Dari Indonesia. Gak ada nama pengirim. Cuma di kasih nomor telephonenya aja." Ujarku menyerahkan kotak besar itu.

Bunda terkekeh sambil mengambil kotak itu. Bunda menatap nomor telephonenya, dan senyuman di bibir Bunda langsung memudar. Aku mengernyit saat melihat Bunda dengan mata berkaca.

"Bun? Bunda kenapa?" Kataku pelan sambil menyentuh bahunya, "Siapa yang ngirim, Bun?" Bunda langsung masuk begitu saja dalam kamarnya yang membuatku semakin bingung. Bunda kenapa?

Kugelengkan kepalaku, dan kembali turun untuk menonton televisi. Clara sedang fitting baju pengantin dengan Calonnya. Sementara 2 bocah tengil itu, ntah kemana dia melala. Biarkan lah, kalau ada mereka bertiga, pasti remot susah nanti untuk di pegang.
"Sarahh??!!!" Panggilku sambil meluruskan kaki di sofa panjang.

"Ya, Non?" Ujarnya dengan tergesa-gesa.

"Jangan tergesa-gesa, Sar. Ntar jatuh. Satu lagi, panggil saya Ceci aja. Kita kan sebaya." Kataku.

"Iya, non, eh Ci. Ada apa ya?"

"Ada buah naga gak? Tolong bikinin jus buah naga dong. Haus nih."

Look Like HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang