Tenerife Sea

230 23 1
                                    

PROMPT #4: KANAK-KANAK

.

IRIS di dalam lensa itu telah menerima kedudukan unik yang sama seperti Ayahmu. Corak tak lazim itu ditutupimu melalui kaca cekung berbingkai plastik hitam, benda penyokong jernih dalam akses penglihatanmu.

Jala yang terlatih untuk menelusur tiap-tiap huruf aksara dalam lembar berjilid itu ditimpa oleh kelopak berlekuk ganda, membuatnya tampak melebar.

Aku mengetahuinya, sekadar itu. Memahami layar di balik kehidupan sekolahmu, menyadari kesulitanmu dalam bersosialisasi, mengenal namamu, namun tak pernah menggapai titik yang lebih besar dari itu. Aku tak berteman denganmu.

Kau kesulitan mencari ekspresi mana kala mendengar teguran dari orang asing, pun denganku yang berada di tempat asing bagimu.

Sore itu, aku bertemu denganmu di perpustakaan. Gentar dipancarkan melalui biru laut dalam lensamu ketika dua orang berjasad besar mendatangimu. Tergelak memandangi bagaimana gagap bermuncul di setiap selaan kalimat yang kaulempar.

Kepalamu terunduk, menekur pada lembar kertas polos yang telah ditindihmu dengan tinta-tinta warna, itu tugas menggambarmu yang belum sempat kaukumpulkan ke Guru Kang, bukan?

"Ke-kembalikan kacamataku..." sayup, aku mendengar cicit kecilmu yang meminta. Aku menarik pandangan pada buku bacaanku dan menemukanmu yang tengah menggapai benda bantu itu dari tangan-tangan jahil temanmu. Dua temanmu itu terkikik bangga selajur dengan ditemukannya wajahmu yang gugup, malu, serentak takut.

"Ambil saja kalau berani!" satu temanmu menjulurkan lidah, bergegas melarikan diri, disusul dengan temannya yang lain. Meninggalkan dirimu yang bersedih bersama larutan penyesalan, aku hanya memandangimu hingga dorongan untuk menghampirimu terjejal di benakku.

"Park Chanyeol," seiring dengan bibirku yang begerak menutur namamu, kau menoleh perlahan, mendongak untuk melihatku yang masih berdiri di hadapanmu. Aku melengkungkan kurva ramah di bibir, menunggumu beranjak untuk melempar hirauan. Kau hanya berkedip dengan kelopak mengecil, berusaha memberi fokus jernih pada lensamu yang cacat. Bayang-bayangku belum sepenuhnya jatuh di retinamu, tetapi aku tahu, kau menyadari kehadiranku.

Lagi, kau merunduk, urung memandang wajahku terlalu lama, sama halnya ketika kau disapa oleh orang lain, yang kaulakukan hanya merunduk. Aku duduk di sebelahmu, menyingkirkan sejumlah pena warna di meja untuk merebah buku bacaanku di atas sana.

"Jangan bersedih." Tuturku perlahan, kau meninggikan wajah, menelusur wajahku dengan biru lautmu. "Matamu ini indah sekali. Tidak baik kalau kau menggunakannya hanya untuk menunjukkan sinar redup." Kau membisu dalam lima detik, mengolah kalimatku untuk dipahamimu.

"Terima kasih." Lamat-lamat, sedihmu terguyur senyum ketika aku menepuk pundakmu.

Itu pertama kalinya aku melihat mata dalammu yang sebiru lautan memancarkan pijar kegembiraan.

POINTLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang