Retrouvailles

901 49 7
                                    

PROMPT #1: RINDU

.

JINRI terlalu terbiasa, dan ia tak pernah mengira bahwa kehilangan dirinya hanya untuk beberapa hari saja dapat membuat hidupnya terusik.

.

Lengkingan menyentakkan Jinri dari lamunan, ia mengalihkan sekumpul fokus pandang pada layar monitor komputer yang memendar radiasi buruk untuk matanya. Tulang lehernya terpaksa berderak singkat ke kiri sebelum pandangannya disatukan penuh oleh sewajah wanita, Jung Soojung.

“Kau ingin bekerja hingga pukul berapa, huh?” ia bertanya dalam satu dengusan menyebalkan sebelum kesadaran Jinri menghuyung jiwanya menuju realita di mana ia terperangkap dalam muatan ruang gedung yang remang, kantornya.

Pandangan kembali dialihkannya pada layar, kemudian tersadar bahwa dua penerangan berarti yang menyelubung ke dalam ruang hitam itu hanyalah pendar sinar dalam komputer miliknya, pun kilau rembulan yang menyembul di balik jendela.

Jinri kembali menoleh ke arah Soojung hanya untuk melihat gadis ramping itu menyampirkan mantel, dan bersiap untuk pulang. “Aku akan pulang, nanti.” Tuturnya sebelum meraih pengarah kursor di komputer, kembali meneruskan tugas yang sempat tertunda karena lamunan menengahi benak.

Soojung mendecih singkat, “Jangan lupa matikan komputermu. Aku tidak ingin kembali dituduh telah menghabiskan tenaga listrik oleh Bapak Tua itu.” Pesan Soojung sebelum entakan sol tebal sepatunya menggema di sekitar ruangan gelap nan senyap tersebut. Satu debuman kecil dari pintu ruangannya telah menjadi pertanda untuk Jinri meregangkan tulang.

Ia membawa roda-roda bangkunya untuk bergerak mundur sebelum benar-benar bangkit dari lungguhannya. Ia mengerling ke arah jendela kaca ruang kantor, mendapati segelintir kendaraan roda empat menumbuk aspal dengan ban karetnya yang berguling menyua tujuan.

Jinri memberi sebentuk lengkungan di bibirnya setelah melepas napas berat yang memeluk seluruh beban pekerjaannya selama setengah hari di kantor. Jemari terangkat lambat untuk menyisip helaian surai ke cupingnya. Lelah yang dirasakan ini tidak akan sebanding dengan Chanyeol, benaknya berbisik.

Mengingat nama yang melintas di pikirannya itu membuat darah di balik kulit berdesir halus, ia merindukan perasaan ini. Terakhir kali ia mendapati dirinya begitu ingin memeluk Chanyeol adalah sejak lima menit yang lalu, ia tak ingin menghitung seberapa besar keinginannya untuk menyusul Chanyeol ke bandara dan menunggu suaminya pulang di sana.

Ia mengayunkan langkahnya menuju meja kerja, mematikan komputer—seperti yang telah dipesan oleh Soojung—dan menyisir seluruh berkas kerjanya yang terserak di atas meja. Ia membentuk tarikan napas singkat sebelum meraih mantel bersamaan dengan tasnya ke dalam satu dekapan.

Jinri memastikan seluruh listrik dalam ruangannya telah padam sebelum ia melangkah meninggalkan keheningan yang membekas di balik debum pintu. Ia mengeratkan genggamannya pada mantel selagi telapaknya menjejak dalam hitungan kali di atas ubin dingin koridor kantornya, ia tak perlu menunggu bergilir atau mengantre untuk memasuki lift yang akan mengantarkannya ke lantai dasar.

Pulang terlalu malam terkadang juga banyak keuntungannya. Di mana kantor Jinri hanya diisi lengang dan luas, tak akan ada desakan. Jinri mengeluari lift sesudahnya ia mendengar denting samar dari kubus alumunium tersebut, langkahnya terurai lebih panjang hingga ia menemukan salah satu petugas di pintu gedung kantornya masih terjaga di lobi.

“Malam, Junmong-sshi.” Sapa Jinri disertai senyumannya kepada lelaki paruh baya tersebut. Jinri tak memerlukan balasan berlebih selain senyum ramah lelaki itu untuk dirinya yang kembali melanjutkan ayunan langkahnya menuju setapak jalanan kota yang telah tertimbun es salju.

Gadis itu menghentikan langkahnya dalam beberapa kejap, membairkan kulitnya merasakan getaran halus di antara angin malam yang membuai surainya. Ia menarik mantelnya untuk melingkar di pundaknya, kemudian mendongak memandang rembulan yang masih menjadi lampu besar di malam hari.

Chanyeol selalu mengatakan bahwa tak semua gelap di bumi akan menjadi menyeramkan. Selalu ada bulan yang akan bersedia menyinari bumi, mengitari bumi, meskipun matahari adalah objek yang dikelilingi oleh bumi. Bulan selalu menjadi objek yang selalu ada. Mengingat seluruh penuturan itu kembali menyeret benak Jinri pada wajah suaminya.

Ia merindukannya lagi. Lebih dari enam minggu terakhir, ia merasakan kerinduan itu telah meluap melewati bendungan kesabaran yang selama ini ia bangun. Jinri menunduk, menyatukan sepasang telapaknya demi menghalau dingin.

Baru saja ia akan kembali mengambil langkah lebar menuju rumah jika bukan karena halusinasinya terus menggantung di atas pikirannya. Suara Chanyeol mendengung manis di balik pikirannya, dan itu membuatnya hampir menangis. Ia merindukan Chanyeol.

“Jinri, berhenti berlari!”

Relita, Jinri tak berhenti berlari. Ia mengabaikan suara halusinasi yang menggaung di pendengarannya. Suara dalam Chanyeol, dan berpikir untuk melangkah lebih cepat ketika justru tangannya telah ditarik oleh segenggam kehangatan yang tersalur dalam hitungan kejap.

Ia menghentikan kayuh tungkainya, dan perlahan-lahan merentang kebebasan untuk jendela matanya. Sepatunya masih menjejak timbunan es salju, itu yang maniknya lihat. Namun, telapak tangan kirinya terasa hangat—serupa balutan wol rajut. Ia menoleh gontai, membuang seluruh dugaannya mengenai halusinasi.

Hingga sepasang kristal beningnya menumbuk dua bola lainnya—yang lebih cemerlang dan mengirimkan ribuan makna rindu. Jinri berkedip dua kali hingga ia tersadar bahwa kehangatan yang terajut dari tangan kirinya adalah genggaman tangan. Lengkungan elok yang tergores dari belah bibirnya seperti menghantarkan tular.

“Chan…yeol?”

Gumamnya di antara keterkejutan. Pandangannya bergulir lagi ke arah tangan kiri pria di hadapannya, dan itu sukses meruahkan sesusun rindu yang telah ia amankan dalam benak.

Kopi. Itu kopi dengan warna hitam pekat, bersama kepul hangat yang menguarkan aroma pahit. Chanyeol yang selalu memberikan benda itu padanya. Belum sempat kata kata terurai menjadi kalimat, gestur tangannya telah lebih dulu mengusur leher jenjang pria di hadapannya.

“Chanyeol-ah? Ini kau?” pertanyaan itu dituturkan melalui suaranya yang serak, mendesak tahanan emosi yang begitu begelombang. Telapak tangan Chanyeol jatuh di punggungnya, berakhir memulas usapan ringan.

“Kau pikir aku siapa? Halusinasi?” suara dalam itu menyapa pendengaranmu di antara sahutan klakson kendaraan di ujung jalan utama kota. Jinri memejam, membiarkan rindunya melepaskan diri dari selingkup lengan-lengan Chanyeol yang mengurung tubuhnya. Ia memejamkan matanya, menghirup aroma Chanyeol yang telah lama tak bertemu dengan penciumannya.

Ia tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, Chanyeol-nya telah pulang. “Aku merindukanmu, Jinri.” Dan itu adalah kata-kata yang baru saja akan Jinri sampaikan pada suaminya di balik jiwanya yang mengambang menahan rindu.

POINTLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang