A F F R A I D

Mulai dari awal
                                    

"Aku bukan gadis murahan! Kau yang wanita jalang! Bodoh! Kevin memang menyayangiku, tapi bukan mencintaiku seperti yang kau katakan. Ia punya wanita yang selalu ada di dalam hatinya. Kau bodoh jika itu yang saat ini kau pikirkan," Anna jelas marah dikatai murahan. Demi apapun, ini pertama kalinya makian tak bermoral itu dilontarkan untuknya.

Wanita itu semakin menjerit dalam tawanya, tapi seketika matanya berubah tajam. Menghujam gadis yang meringkuk itu dalam-dalam. Anna merasakan tubuhnya semakin merosot ke lantai. Kalau bisa ia ingin lenyap ditelan lantai putih itu saja—itu mungkin akan lebih baik. Melihat mata yang berkilau oleh kebencian sama halnya melihat singa yang siap menerkam kita. Mau tak mau, pada akhirnya ia akan tetap jadi santap malam buat para pemangsa keji itu.

"Berani sekali kau mengataiku jalang," wanita itu akhirnya menekan ujung pisau itu dengan tenaga. Perih, itu yang mengalir di nadi Anna sekarang. Ia menyesali apa yang telah terjadi dan tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Wanita itu benar-benar bukan manusia normal.

"Kau yang bodoh. Apa kau tak bisa melihat betapa Kevin mencintaimu, hah? Yang benar saja ... apa kau tak punya hati untuk merasakannya?" wanita itu menjerit mengatakan kenyataan yang menyakitkan itu. Lelaki yang dipujanya memberikan sinar yang ia impikan pada gadis kecil yang tak tahu apa-apa. Yang bahkan tidak menyadari apa yang dirasakan pria itu. Dan ia di mana? Wanita yang mengerti semua yang dirasakan Kevin, ditaruh di mana dia? Apa hanya sebagai wanita yang dengan siap siaga selalu melakukan permintaannya? Ia tidak bisa terima. Tidak bisa. Itu tak adil baginya. Ia telah mengorbankan segalanya.

Anna memalingkan wajahnya, berusaha mengabaikan rasa perih di sisi wajahnya. Ia terhenyak mendengar isakan yang wanita di sampingnya. Tak ayal, tetesan bulir putih itu jatuh di tangannya. Anna tahu, wanita itu sedang sakit. Sakit yang dalam di hatinya. Hanya saja, ia tidak terima jika ia dituduh sebagai pelakunya. Yang Anna tahu, selama ini Kevin juga tidak pernah punya wanita special. Atau mungkin ia tidak pernah peduli akan hal itu.

"Siapa kau sebenarnya?" Tanya Anna akhirnya. Entah mengapa, ada sesuatu yang aneh yang dirasakannya pada wanita itu. Ia juga mulai yakin kalau wanita itu ada hubungannya dengan terror hantu yang dialaminya selama ini. Ia mulai yakin, kalau kejadian-kejadian kecil itu bukannlah ulah makhluk yang dianggapnya penghuni rumah itu, tapi tak lain, itu lebih tepatnya ulah manusia—mungkin ulah wanita ini, atau seseorang yang berhubungan dengannya.

"Katakan padaku, siapa kau sebenarnya? Aku janji, aku takkan memberitahukannya pada Kevin," Anna melakukannya memang agar ia terbebas dari kecaman ini, namun ada maksud terselip juga di hatinya. Jika saja wanita itu bersedia mengatakan yang sebenarnya, ia serius ingin membantu.

"Kau tahu? Kau salah tentang Kevin. Ia memperlakukanku seperti putrinya, bukan wanita seperti yang kau maksud. Itu tidak masuk akal, aku masih anak-anak jika dibandingkan dengannya. Akh, itu sungguh tak mungkin bukan?" gadis itu tersenyum membayangkannya. Andai saja ia tahu, ada penyesalan dalam hatinya saat mengungkapkan itu. Gadis yang belum dewasa, labil, wajar saja memang, jika belum paham akan hatinya. Ia terlalu fokus pada apa yang masuk akal menurutnya.

Wanita itu bergegas mendekati pintu, melilitkan selembar kertas untuk membungkus pisaunya. Tangannya menggapai pintu dengan hati-hati. Melirik ke kiri dan kanan lalu keluar. Di ambang pintu, Anna mendengar kalimat yang mengancam dari wanita itu. Sebuah peringatan untuk segera menjauh dari Kevin dan Anna tidak usah mencari tahu siapa ia yang sesungguhnya. Hal itu berhasil membuat Anna bergidik.

__

Anna menyeret kakinya menuruni tangga, berjalan ke meja makan untuk sarapan. Kepalanya benar-benar pusing. Ia akan membolos saja jika ia tidak ingat hari ini ada ulangan dan dia belum belajar.

"Pagi," sapanya lemas.

Kevin yang sedang melahap rotinya membalas sapaan Anna dengan anggukan, melanjutkan menghabiskan rotinya lalu menyesap kopi sambil membuka koran yang selalu diletakkan di atas meja. Selanjutnya ia mengangkat dagu untuk menatap gadis di seberangnya karna tumben saja gadis itu diam. Lalu ia membulatkan matanya.

"Ada apa dengan wajahmu?" ia melempar korannya ke meja, beranjak dari kursi dan mengitari meja untuk menghampiri Anna. Tangannya memaksa Anna mendongak. "astaga, darimana kau mendapatkan luka semacam ini?" tanyanya tak percaya. Gores lurus di sana sangat jelas dengan darah yang sudah mengering dan kulit wajah yang merenggang menjadi dua. Kevin meringis melihatnya.

"Kena pintu tadi pagi," Anna menjawab sekenanya.

"Jangan berbohong!" kekhawatiran membuat Kevin mengeluarkan bentakan. Memangnya terbuat dari apa pintu di rumahnya sampai bisa membuat luka serapi itu.

"Kena silet tadi pagi saat aku meraut pensilku," alasan lain gadis itu sampaikan. Bodoh. Alasan yang berganti-ganti tentu saja semakin membuat Kevin curiga.

"Kita bahas itu nanti. Habiskan sarapanmu, kita akan ke dokter."

Ucapan Kevin bukanlah sesuatu yang bisa dibantah. Anna melahap rotinya dengan hati-hati. Ketika mulutnya terbuka lebar, luka di wajahnya akan terasa sakit. Makan saja ia merasa kerepotan sekarang. Selera makannya mendadak hilang meski perutnya kelaparan.

Lupakan tentang ulangan, hari ini ia akan ke dokter. Kemudia bercerita si tuan Kevin. Anna mendengus pasrah. Ia juga malas ke sekolah, biar saja ia ulangan susulan nanti. Toh dengan begitu ia bisa meminta bocoran pada sobatnya, Jeremy.

Dalam perjalanan ke rumah sakit Anna menimang-nimang sesuatu dalam benaknya.

"Ada sesuatu yang janggal di rumah. Awalnya kukira ia hantu, tapi kejadian semalam membuatku berpikir ulang. Harusnya aku tak mempercayai hantu masih ada di era sekarang ini." Ia berterus terang. Jika bukan Kevin, siapalagi yang akan melindunginya.

Kevin mengernyit, "sebenarnya apa yang terjadi?"

Anna berkata tanpa ragu,menceritakan semua hal aneh yang dialaminya. "sejak awal aku sudah diterror dengan sedemikian rupa dan aku percaya itu hantu," Anna menjeda kata-katanya, "tapi makin ke sini makin kelihatan kalau itu bukan hantu dan wajahnya jelek,"

"Lalu?"

"Percaya atau tidak, ada yang ingin memusnahkanku di rumahmu aku sudah merebut hatimu."

Kevin terkekeh, "memangnya kau merasa merebut hatiku?"

"Nah itu dia, aku bilangin sama dia semalam karena ngotot kalau kamu suka aku." ia menjelaskan.

"Jadi luka itu semalam?"

Bersambung ...

^^

Hai hello .. aku sayang kalian yang masih mau baca tulisan luar biasa absurd ini 

Thank you and sending big love and kiss for my lovely readers...

Shadow (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang