C O L L I N

3.1K 162 2
                                    

WANITA dua puluh delapan tahun itu benar-benar marah. Tawa itu bukan milik mereka.

Bahkan ia merasakan amarah luar biasa ketika memutar ulang drama di meja makan beberapa saat yang lalu. Lalu ketika ia harus melihat Kevin mengajari gadis sialan itu. Ia terkejut bukan main mendapati dirinya menonton adegan ayah-anak palsu yang bahagia. Dan ciuman selamat malam itu tadi ... huh, yang benar saja.

Dari dulu ia menggila, bukan, berfantasi mengenai laki-laki itu dan anak-anaknya. Menyapa dan menerima morning kiss setiap ia membuka mata. Mengantarkan putra sulungnya ke sekolah junior lalu jalan-jalan dengan putri bungsunya menghabiskan siang. Ia mencintai pria itu dari dulu bahkan sejak ia remaja. Kevin sudah menjadi pusat dunianya hingga ia tak pernah bisa lagi jatuh cinta.

'Edward Patar dan Jocelyn Patar' begitu ia menuliskan nama anak-anaknya itu di buku hariannya. Ia selalu berpikir untuk menghabiskan liburan musim panas di perkampungan tempat ia tumbuh. Menikmati hutan kecil di belakang rumah neneknya—rumah masa kecilnya—sebelum pekerjaan menuntutnya untuk pindah ke pusat kota. Satu tahun kepindahannya, neneknya meninggal. Jika diingat-ingat, hari pemakaman neneknya menjadi hari terakhir ia menginjakkan kaki di tanah itu.

Persetan!

Ia harus mengalami penolakan lagi untuk ke sekian kalinya. Takkan dibiarkannya, sungguh. Kehidupan keluarga itu bukan khayalan, bukan mimpi. Ia akan mendapatkannya.

Ia menginjak pedal gas membelah jalanan. Ia melewati batas kecepatan—sebuah keberuntungan lalu lintas sedang lengang. Wajar saja, musim panas tahun ini terlalu ekstrim untuk berkendara. Kulit wanita itu sendiri sudah meleleh bersama keringat. Rambut pirangnya melepuh menempeli leher. Ia meraih satu botol besar di kursi di sebelahnya lalu menuangnya ke dalam mulut untuk mencegah radang karena rasanya tenggorokannya seperti terbakar. Ia terlalu nekat keluar di tengah hari seperti ini.

Beberapa menit kemudian sepasang kaki itu sudah mengayun anggun di lobby sebuah apartement. Sepertinya penerima tamu di sana sudah akur dengannya. Recepsionist itu tersenyum menyambutnya dan berkata kalau seseorang yang akan ditemuinya ada di tempat seharusnya.

Kaki jenjangnya melangkah pasti mendekati sebuah pintu. Kepalan tangannya terangkat untuk mengetuk. Tapi urung karena wajah manis berparas seksi sudah menyembul di balik pintu.

"Hai, Collin!" sambut seorang wanita dari balik pintu menjejarkan gigi-gigi kecilnya yang putih bening, "Wajahmu terlihat muram," keluhnya seraya menguak pintu lebar-lebar. Wanita bernama Collin itu melangkah masuk, melemparkan tas selempangnya di lantai. Ia membuka kulkas dan meneguk satu kaleng penuh bir dalam sekali tegukan.

"Kau tak punya anggur?" tanyanya tanpa menoleh. Lengan-lengannya menumpuk camilan ke dekapannya lalu membawanya ke ruang tamu.

"Akan kubelikan jika kau benar-benar membutuhkannya," wanita itu memberi usul.

"Tidak. Aku membutuhkanmu, Pres," Collin menepuk sofa di sebelahnya. Remote tv ditekan pada tombol power, lalu memilah tumpukan makanan ringan yang ia tebarkan di meja. Ia memutuskan memulai dengan pocky. Coklat dan biskuit itu semoga saja bisa memperbaiki mood-nya agar tidak meledak. Kasihan jika ia melampiaskannya pada Presley.

Teman wanitanya itu sungguh mengerti perasaan Collin. Ia memutuskan duduk dan merangkul wanita yang disayanginya itu.

"Ceritakan padaku, semuanya," kata wanita itu. Ia akan mendengarkan semuanya, apapun yang ingin disampaikan Collin. Menghapus air mata wanita itu jika ia menangis dan menghiburnya semampunya. Itu sudah menjadi peran yang ia lakoni karena ia sungguh sangat menyayangi Collin.

Collin memandang wajah Presley denga sendu. Larik-larik kecantikan wanita itu selalu memberikan ketenangan yang membuatnya menyukai ekspresi apapun yang diberikan kepadanya, termasuk saat ini. Presley tidak membuatnya merasa dikasihani.

Shadow (Complete) Where stories live. Discover now