Part 6 : Kharisma

28.5K 2.7K 81
                                    

Sebab tak akan ada kebahagiaan yang bertahan selamanya. Itulah mengapa Tuhan menciptakan air mata di sela kelopakmu yang indah. Segalanya tentu memiliki guna. Dan selain simbol untuk semua rasa haru, air mata tentu merupakan fugsi dari wujud nyata setiap derita yang kau rasa.

***

Awan di langit tak selamanya bermandi warna biru saja, kadang kala ia berubah menjadi kelabu juga. Begitu pula dengan yang namanya kehidupan, tentu saja tak selamanya indah, sebab kerikil tajam sudah siap menghadang.

Langit menuruni tangga untuk menuju lantai dimana seluruh keluarganya berkumpul untuk sarapan di pagi hari. Hari ini, ia mengenakan kemeja biru tua dengan dasi berwarna hitam yang di bagian pinggirnya terdapat gradiasi warna-warna gelap. Ia menyampirkan jasnya yang juga berwarna hitam di lengan kanannya, sementara tangan kiri menjinjing tas kerja.

"Pagi semua," sapanya dengan senyum cerah. "Good morning, little princess." Ia berjalan kearah keponakan perempuannya, kemudian seperti biasa mengecup rambut mengikal itu gemas.

"Mowning, uncle Sky." Balas Reya dengan senyum lebar.

Namun Langit hanya mendengus dan menggeser kursinya. "Berhenti memanggil uncle seperti itu, Rey." Ia melotot pura-pura marah. "Not Sky, okey honey?"

"But it is  your name, uncle. Sky and Langit, right?"

Langit mencibir dan menerima piring roti dari ibunya. "Ya, ku rasa aku perlu menuntut Ayah dari bocah keras kepala ini." Ia melirik kakaknya dengan pandangan menilai tak terima.

Rama hanya mengedikkan bahunya acuh. Ia melahap roti yang telah di sediakan istrinya. “Salahkan saja Mama yang memberi nama itu.” celetuknya kemudian kembali fokus pada tablet tipis yang ia letakkan tak jauh dari mejanya.

“Ya, karena kamu lahir sewaktu langit sedang cerah dan indah, sayang. Jadi Mama jatuh cinta pada selimut bumi kita itu.”

Langit mengambil teh dan menyeruput minuman itu pelan-pelan. “Jadi jika aku terlahir sewaktu selimut bumi ini tengah mendung, apa Mama berniat menamaiku Guntur? Karena percayalah setelah mendung gelap Guntur dan petir sejenisnya akan selalu berdesakan untuk muncul.”

Rama terbahak-bahak setelah mendengar ocehan tak penting adik laki-lakinya itu. sementara ibu mereka hanya menggelengkan kepala bersama senyum lucu yang tak ingin ia tutupi.

“Percayalah Lang, Guntur lebih membuatku terkesiap.” Olok Rama santai.

“Sialan, Mas.” Gerutu Langit melempar kakaknya dengan serbet.

“Jangan mengumpat ketika kamu bergabung dengan keponakanmu, Lang.” Ayah Langit yang sedari tadi diam dan membaca Koran akhirnya membuka suaranya. Ia mendelik penuh peringatan kepada anak bungsunya itu. “Reya, ayo cepat selesaikan sarapannya. Nanti pergi kesekolah bersama Uncle sky.”

“Papa,” Langit menyela Ayahnya.

“Iya lho, Lang. Hari ini Mas sama Reya ikut mobil kamu ya? Kita antar Reya dulu ke sekolah, baru setelah itu kamu antar Mas ya?”

Langit menatap kakaknya dengan pandangan bingung. Kemudian melirik ayahnya dan juga keponakannya dengan cara bergantian. Kerutnya sudah tampak sangat dalam di daerah kening, sebuah pertanda bahwa ia tak paham dengan apa yang di maksud sekarang ini.

“Mobil Mas kemana? Kok ikut aku segala sih?”

“Lagi di bengkel Lang, belum selesai. Lusa katanya baru bisa di ambil.”

Oh ini jelas tidak bagus.

“Naik mobil Papa ‘kan bisa, Mas? Aku sudah ada janji soalnya.”

Rama mendengus melihat tingkah adiknya yang kemudian sibuk mencari telpon genggamnya di dalam tas. “Hari ini Papa ada acara sama kumpul-kumpul bareng teman pensiunannya. Masih pagi kali, Lang. Mana ada meeting di jam tujuh.” Ia mencibir adiknya.

A Million TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang