tujuh

12.6K 869 58
                                    

Nara duduk merenung dalam kamarnya. Duduk di sofa yang terletak tepat di sebelah jendela kaca besar. Menatap keluar jendela, dimana cuaca sedang mendung. Gemuruh terdengar namun hujan belum juga turun.

Otaknya kembali memutar kejadian tadi sore. Dimana ia dan Mia mulai menyepakati tantangan yang ia ajukan. Bagaimana semangatnya cewek itu menerima taruhan yang awalnya ia pikir, Mia tak akan mau menerima taruhan terkutuk itu.

Nara menatap kosong layar handphonenya. Disana sudah tertera sebuah nomor dengan unkown number. Bibirnya menyunggingkan sedikit senyuman, tangan kanannya beralih memijit pelipisnya.

"Gila. Kenapa gue harus mikirin Mia?" kini tatapannya beralih pada sebuah buku tebal bersampul merah. Dimana buku itu telah membuat Nara merasa gila akhir-akhir ini. Buku itu tergeletak di atas meja belajar, bersebelahan dengan sofa kecil yang sedang ia duduki. Tangan panjangnya langsung terulur untuk mengambil buku itu.

"Cinta, kesetiaan, ketulusan, keabadian," Nara terkekeh sambil membalik-balikan halaman buku tersebut. Senyum samarnya tak sirna sedikitpun dari wajah tampan miliknya. Bahkan, buku ini memberinya suatu hiburan. Entah mengapa, iapun juga bingung.

"Sebuah kekonyolan yang kau sukai dari lawan jenismu, termasuk benih-benih cinta yang tak sengaja tumbuh dalam hatimu. Dan yang terparah, kau tak menyadari itu." Nara bergumam membaca bagian isi dari halaman tersebut. Menyunggingkan sebuah senyuman sampai akhirnya ia mengalihkan pandangan keluar jendela. Menerawang dengan melihat setitik air yang kini mulai jatuh bergerombolan membasahi bumi.

"Mia, lo emang buat perasaan gue campur aduk," Nara menggeleng, matanya beralih pada handphonenya. Diraihnya handphone itu dan memilih untuk menghubungi seseorang.

Suara seseorang muncul setelah nada sambung kelima.

"Napa, Nar? Tumben lo nelpon,"

Nara bergeming. Ia pintar sekali menyembunyikan perasaan, awalnya ia tersenyum sangat tulus dan menggelikan. Namun di detik berikutnya, ia bisa saja berubah menjadi sebuah patung berwajah dingin dengan iblis di dalamnya.

"Gak, gue cuma iseng."

Terdengar helaan napas di seberang. "Serius, dong! Gak mungkin lo iseng gini, gue tau lo, kok. Jangan bohong,"

Nara mengernyit, "Lo ngapain, Yan? Emang gue ganggu?"

Ian tertawa renyah dalam sambungan telpon mereka, sampai akhirnya bersuara, "Cuma lagi baca referensi. Mau ngapain lo nanyain gue? Geli gue, nih! Haha,"

Nara makin menautkan alis mendengar kepedean sahabatnya, "Jijik banget lo! Gue cuma mau nanya, gue lagi bingung."

"Bingung kenapa?"

Nara terdiam sebentar. Meliarkan pandangan ke setiap sudut kamarnya. Sampai akhirnya ia menghela napas berat. "Mia. Adik lo itu, dia yang buat gue bingung."

Hening sebentar. Sampai sekitar 30 detik kemudian, baru Ian menjawab. "Jangan bilang lo--"

"Sialan! Jangan nebak hal yang gak bakal terjadi. Gue cuma bingung ngadepin sikapnya yang gak bisa di atur," dengan cepat Nara menginterupsi tebakan Ian. Ia hanya tidak ingin ada kesalah pahaman dan itu pasti akan menyebabkan masalah besar--bagi dirinya.

Ian terkekeh di dalam rumahnya, "Ngegas banget, sih lo! Lagian, tumben lo curhat tentang anggota kelas lo yang gak bisa di atur. Terlebih dia adik gue sendiri. Emang adik gue sebandel apa, sih?"

"Oh ya? Bukan tumben, tapi malah GAK PERNAH! Gue emang gak pernah curhat tentang anggota kelas gue, karna dulu gak ada anggota kelas yang sebandel adik lu. Dia itu suka ngebantah, buat kelas rusuh. Apalagi dia bawel, gue jengkel kadang sama dia," Nara ngedumel, seakan menganggap Ian tengah berada di hadapannya. Ia menatap keluar jendela dengan suasana hati tak terbaca.

Someone NewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang