empat

12.2K 1K 87
                                    

Derap langkah Mia yang terdengar tergesa-gesa menuruni tangga, memenuhi indera pendengaran Julian yang sedang membaca buku referensi di sofa ruang tengah. Ditemani Mama yang sedang sibuk mengupas buah apel. Sontak saja Ibu dan anak itu menoleh ke arah tangga, dimana seorang gadis bertubuh semampai loncat dari tiga anak tangga dan kini ia berlari ke arah Mama dan kakaknya.

"Mia, hati-hati jatuh, lho." Nia a.k.a Mama mengantisipasi anak gadisnya itu saat dengan cepatnya ia berlari dan langsung menghempaskan bokongnya di sofa. Mia duduk disebelah Ian yang kini menatapnya bingung, bersebrangan dengan Nia yang hanya dibatasi meja kaca berbentuk oval.

Mia tak mengubris ucapan Nia, matanya berbinar tertuju kepada Ian.

"Kak," Mia masih berusaha mengoptimalkan nafasnya yang tersengal-sengal, tangannya terulur untuk mengambil buku bacaan kakaknya itu.

Ian baru saja hendak protes, sampai suara Mia menginterupsinya, "Sstt! Gue mau nanya," suaranya terdengar pelan dan rendah. Detik berikutnya, ia melemparkan tatapan penuh arti ke Nia--yang seakan mengerti tatapan anak gadisnya itu.

Nia menghela nafas kasar, meraih piring yang berisi potongan apel lalu bangkit sambil melirik jengkel ke arah Mia. "Oke, saatnya meninggalkan dua remaja yang butuh quality time-nya."

Mia terkekeh mendapati Nia yang ngambek. Tak mau ambil pusing, ia beralih pada Ian. Sedangkan cowok itu hanya menatapnya penuh penuntutan.

"Kembaliin buku gue, Mia!"

Mia menjauhkan tangannya yang menangkup buku bacaan kakaknya. Ia menggeleng tegas, "Gak. Lo harus bantu gue,"

Ian bersidekap, berdecak sebal kepada adik manisnya ini. Menautkan alis sampai akhirnya bersuara, "Bantuin apa? Buat tugas? Gampang."

Mia menggeleng lagi, mencari posisi nyaman sambil menyembunyikan buku Ian dibalik tubuhnya. Menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya membuka mulut. "Kak, lo tau aibnya Nara, gak?"

Seketika Ian langsung cengo. Matanya membulat sempurna dengan bibir menganga lebar. Makin mengangkat alisnya, menandakan bahwa cowok ini benar-benar terkejut plus bingung.

"Ngapain lo nanya aib orang? Gak baik, Dik!" Ian berusaha merampas kembali bukunya. Namun dengan cepat Mia menyingkir, bangkit dari duduknya dan berpindah ke sofa di seberang Ian, dimana sofa ini tadinya ditempati Nia.

Mia meringis, "Gue cuma mau ngasi dia pelajaran, doang."

Ian memasang raut wajah penasarannya, menatak dagu sambil memandang adiknya lekat. "Ada masalah apa lo sama dia? Ngapain sampe bawa-bawa aib?"

Mia mengibaskan tangannya, "Jangan ganti topik. Jawab pertanyaan gue dulu."

Lagi. Ian berdecak sebal. Ia dikontrol oleh adiknya sendiri. "Semua orang punya aib, Mia...." Ian bersuara mencoba untuk sesabar mungkin. Walaupun tangannya sudah gatal ingin merampas kembali buku referensi yang menjadi obsesinya belakangan ini.

Mia memberenggut. "Maka dari itu, gue perlu bantuan lo buat nyari aibnya Nara."

"Jangan cari masalah. Gak bagus lo buka aib seseorang."

"Gue gak cari masalah, Kakak. Gue cuma mau ngasi dia pelajaran." Mia memiringkan bibirnya, menampakan sebuah seringaian jahil sambil pikirannya menjelajah memikirkan bagaimana ketua kelas terkutuk itu langsung bertekuk lutut padanya bila ia berhasil mendapatkan aib Nara. Membuat Ian makin bergidik.

"Nara anak baik-baik. Aibnya gak bakal gue sebar," Ian berusaha bangkit untuk merebut bukunya, namun suara cempreng Mia kembali menginterupsinya untuk tetap diam ditempat.

"Plis, Kak. Gue sebagai adik lo selalu tersiksa. Masa lo bela orang lain daripada adik lo sendiri?" Mia memasang wajah nelangsanya. Meremas-remas buku referensi milik Ian yang ia tahu pasti baru dibelinya seminggu lalu dan tiga hari yang lalu baru ia mulai membacanya. Akibat jadwalnya yang padat, cowok itu jadi susah mencari waktu untuk membaca.

Someone NewWhere stories live. Discover now