"Tuli ya? Minggir, Ngalangin jalan orang aja! Dasar pengemis." Aku mendapat tendangan di kakiku olehnya.

Berani sekali dia?! Kurang ajar!

Dengan cepat aku berdiri, tidak terima. Wanita abal-abal itu berjalan dengan mentel. Gelas kopi yang tinggal setengah, kulempar kearahnya. Dan YA! KENA SASARAN! Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat rambut ikal wanita itu telah basah oleh Cappucino-ku.

"HAHA! MAMPUS LO! DASAR CEWEK ABAL!" Teriakku. Wanita itu berbalik menatapku garang. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Senyuman di wajahku langsung berubah, saat wanita itu mulai berjalan cepat ke arahku sambil komat kamit. Aku langsung mengambil langkah seribu melihat dia yang berlari.

Aku terus berlari dan aku berhenti saat kurasa dia sudah cukup ketinggalan jauh di belakangku. Ehm, gini-gini, pas Sma aku pernah juara satu lomba lari lho. Makanya cepat. Aku duduk di sebuah cafe. Memesan minuman karena aku butuh air setelah berlari cukup lama. Sebuah pesan dari ayah masuk. Ayah mengirim alamat kantor itu. Baiklah, aku akan kesana setelah penatku hilang.

***

Kutatap sebuah gedung pencakar langit dihadapanku. Aku merapikan rok pensil dan blazzerku. Baju punya Bunda, aku malas pergi ke Mall untuk membeli pakaian kerja. Lagipula, baju kerja Bunda juga sangat banyak dan sudah tak terpakai lagi. Jadi dari pada cuma di pajang di lemari mending kupakai?

Aku melangkah masuk, berjalan menuju resepsionis. "Permisi, saya mau bertemu dengan Bapak Randy. Ada?" Tanyaku pada 2 orang perempuan yang berdiri dalam meja resepsionis. Mereka tersenyum ramah.

"Apa sudah buat janji?" Tanya salah satunya yang bernama Lola, terlihat jelas pada bet namanya.

"Emmm... ayah saya sudah menghubungi Pak Randy. Coba anda konfirmasikan padanya dahulu." Kataku. Wanita bernama Lola itu tersenyum dan mengambil gagang telephone.

"Siang, pak. Maaf mengganggu. Ada seorang gadis ingin menemui bapak. Katanya, ayah gadis ini teh menghubungi bapak?" Ujarnya sopan.

Perempuan tadi menatapku dengan kedua alis terangkat. "Emmm... Ceci. Nama saya Ceci." Sahutku setelah menangkap maksudnya.

Tak lama, resepsionis itu kembali meletakkan gagang telephone itu.
"Baiklah, Ruangan Pak Randy ada di lantai 19. Anda bisa tanyakan pada pegawai di lantai itu dimana tepatnya ruangan Pak Randy."

Aku mengangguk. "Terima Kasih."

"Sama-sama."

Aku masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong. Ku tekan lantai 19. Pintu mulai tertutup.

"TOLONGG TAHAN LIFTNYA!" teriakan itu langsung mengejutkanku dan segera menekan kembali tombol terbuka. Seorang pria berlari dengan pakaian berantakan. Dasi yang belum terpasang. Kemeja putih yang keluar, dan Jaz yang di genggamnya. Laki-laki itu berdiri di sampingku dengan ngos-ngosan. Pintu kembali tertutup.

Aku menatapnya yang sedang mengatur nafas sambil menyandar di belakang. Mungkin laki-laki ini habis lari. Perjalanan naik ke atas berjalan mulus. Tanpa ada karyawan-karyawan lain yang menghentikan untuk masuk. Pria tadi turun di lantai 18 dengan berjalan gontai, layaknya orang mabuk. Aku menggidikkan bahuku.

Lift berhenti pada lantai 19. Aku melangkah keluar sambil memegang tas selempangku. Kudekati salah satu pegawai yang sedang duduk di kursinya sambil memain game di komputernya, dan mengunyah Roti. Karena sudah jam makan siang.

"Maaf, Ruangan Bapak Randy di mana ya? Pria itu terlonjak kaget saat ku sentuh bahunya. Dia menatapku, dan langsung berdiri. Aku terkekeh melihat cara ia bergerak. Dia hampir menumpahkan secangkir kopi hitam saat akan berdiri. Ceroboh.

"Apa tadi?" Katanya. Aku tersenyum.

"Ruangan Bapak Randy dimana ya?" Tanyaku sekali lagi. Pria ini tampan, sangat tampan.

"Oh... itu disana. Sudah tertera kok tulisannya di pintu. Direktur." Jawabnya. Aku menoleh ke arah yang ia tunjuk.

"Terima kasih, ya." Aku tersenyum dan beranjak pergi mendekati ruangan itu.

Meja sekretarisnya kosong, mungkin sedang di bawah, makan siang. Aku beranjak ingin mengetuk pintu. Tapi, pintu terbuka tiba-tiba. Seorang Pria paruh baya yang masih terlihat kekar keluar. Om Randy masih tetap tampan. Sama seperti ayah. Meski tak lagi muda.

Aku tersenyum sambil mengangguk sekali memberi hormat. Tapi dia menatap kaget dengan mata memerah. Aku baru saja akan menyalimi tangannya, tapi dia sudah ambruk ke lantai. Pingsan. Aku kebingungan. Orang-orang mulai mengangkat Om Randy ke dalam Kantornya kembali. Meletakkan Om ku itu di atas sofa panjang berwarna putih.

Kenapa om Randy kaget terus pingsan ngeliat aku? Ada yang salah ya? Ayah dan bunda juga kaget melihatku. Heran.

TBC.

Jangan lupa vote dan commentnya. Karena itu akan bangkitin semangatnya thor buat ngelanjutin cerita ini.

Look Like HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang