Eighth

1K 110 18
                                    

Sedari tadi yang Jongin lakukan hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sudah sekitar 10 menit berlalu sejak dia dan Seolhyun meninggalkan area pemakaman umum Hongdae.

"Oppa!" Seolhyun menyodorkan sebotol air mineral kepada Jongin.

Jongin mendongak, lalu menerima botol itu dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Terkesan kuat, tapi tetap tidak bisa menutupi kerapuhan hatinya.

Seolhyun tidak perlu lagi terkejut saat melihat Jongin menangis seperti ini. Dulu ia sering melihat Jongin menangis. Walaupun tidak setiap hari, dan Jongin jelas tidak melakukannya secara terang-terangan. Tapi Seolhyun tahu itu.

Awalnya Jongin adalah lelaki yang tegar dan sumringah. Tapi sikapnya sedikit berubah sejak kematian ayahnya. Ya, sedikit. Setidaknya ia masih sama jantannya -atau mungkin lebih jantan saat ini seperti Jongin kecil dulu yang selalu rela berkelahi untuk melindungi Seolhyun saat ia di goda teman laki-lakinya. Ya, mereka berdua adalah teman masa kecil, rumah merekapun berdekatan. Tapi itu dulu, sebelum Jongin dan ibunya pindah kerumah ayahnya yang sekarang.

Mungkin perubahan itu karna ia merasa sangat kehilangan akan pria yang selalu menjadi inspirasinya. Terlebih lagi, dengan pernikahan ibunya yang secara tiba-tiba dengan sahabatnya sendiri yang notabene juga sahabat ayahnya.

"Hhhh... sudah tiga tahun aku tak bertemu denganmu, tapi kurasa tak banyak yang berubah darimu, oppa." Ujarnya sambil mendudukkan dirinya di samping Jongin di bangku pinggiran air mancur.

Jongin terkekeh kecil.

"Sepertinya aku selalu terlihat dalam keadaan tidak jantan saat bertemu denganmu."

"Tsk! Apa kau berpikir kalau lelaki itu selamanya tidak boleh menangis?"

"Kau salah besar, oppa. Adakalanya manusia memang perlu untuk menangis. Bukan karna dia lemah. Hanya untuk memperingan beban hidup saja."

"Sepertinya kau sudah dewasa ya." Jongin mengacak-acak rambut Seolhyun gemas. Senyumnya masih bertengger manis disana.

Gadis itu mencebikkan bibirnya.

"Oppa pikir aku selamanya akan menjadi anak kecil? Yang benar saja."

Jongin mengendikkan bahu.

"Siapa tahu? Kau kan 'si gadis manja berkepang dua'." Ejek Jongin.

"Itu kan sudah dulu, saat kita masih di bangku taman kanak-kanak. Rambutku sudah tidak dikepang dua sekarang, oppa tak bisa lihat?" Seolhyun berujar dengan mengerucutkan bibirnya. Rambutnya yang tergerai ikut berayun seirama dengan gerakannya saat menggeleng-gelengkan kepalanya.

Jongin jadi semakin gemas sendiri dengan tingkah Seolhyun. Gadis yang dulunya cengeng, kini telah berubah menjadi gadis yang sangat manis. Ya, setidaknya seperti iyulah anggapan Jongin yang telah menganggap gadis itu sebagai adiknya sendiri.

Dulu sekali, dimanapun ada Jongin, disitu selalu ada Seolhyun. Gadis yang usianya terpaut satu tahun lebih muda di bawah Jongin ini selalu saja bergantung dengannya. Sebutan 'gadis manja berkepang dua' tentu bukan asal-asalan Jongin buat untuknya.

Gadis kecil itu selalu saja merengek meminta bersekolah di sekolah yang sama dengan Jongin, dari masih taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertamanya. Sayangnya saat sekolah menengah atas mereka berdua mulai berpisah. Karena orang tua Seolhyun tak menyetujui keinginannya untuk terus mengikuti Jongin.

'Kau sudah besar, tidak sepantasnya terus bergantung dengan Jongin. Ia juga punya kehidupan sendiri, Seol.' Begitulah kiranya nasehat ibu Seolhyun. Dan akhirnya gadis itu menurut juga. Toh berbeda sekolah bukan berarti putus pertemanan, begitu pikirnya.

[KAISTAL] We Broke UpWhere stories live. Discover now